Sunday, June 9, 2013

Kolor Aliman

Nama dia Aliman, kau panggil dia Iman saja biar mudah kalau- kalau kau mau mencari dia karena warga sekampung pun panggil dia Iman. Aliman bocah SMP akhir perawakannya dekil, mata bulatnya menonjol dari kelopak matanya dengan warna sembur merah seperti orang yang selalu lelah, tubuhnya kurus, kulitnya sawo matang, rambutnya cepak sedikit ikal dan agak kemerahan, tubuhnya pun tidak terlalu tinggi buat bocah seusianya. Bapak Aliman guru sejarah dengan status PNS yang di perbantukan di sebuah sekolah swasta di kampung sebelah yang berjarak dua kilo dari rumah keluarga Aliman. Ibu Aliman salah satu buruh rakit kardus sabun mandi dari ratusan perempuan seprofesi di kampungnya. Keluarga Aliman sendiri tingal di rumah yang cukup luas, berdinding bata dengan pagar tanaman yang mengelilingi sekitaran rumah.
***
“Man.. jangan lupa bungkusan hijau dekat penggorengan,” kata ibu Aliman.
“Kenapa mesti aku wajib mengaitkan bungkusan itu di celana dalam Mak?,” Aliman mencoba sedikit mengelak.
“Sudahlah Man, kau tahu apa? Kau belum banyak makan asam garam, nurut sajalah sama Emak,” ibu Aliman menyahut dengan sedikit ketus dan tersinggung.
Aliman mengambil bungkusan hijau yang besarnya tidak lebih dari separuh jari kelingkingnya. Bungkusan itu sebenarnya tidak lagi berwarna hijau muda seperti awal Aliman membawanya kemana- mana. Bungkusan itu lebih seperti warna hitam kehijauan dengan peniti kecil yang juga jadi kehitaman karena warna aslinya yang keabuan sudah terkelupas saking lamanya sepasang benda ini jadi pegangan Aliman.
Teriakan kencang yang memekakan telinga Aliman terdengar tiba- tiba.
“Man.. cepat.. ini hari penting.. cepat berangkat.. abang ojek sudah tunggu kita,” ternyata itu teriakan ibu Aliman.
Aliman cepat- cepat memelorotkan celana birunya, ia segara mengaitkan bungkusan hijau beserta peniti kecil tersebut di celana dalamnya. Stelah bungkusan itu terkait, Aliman menaikkan kembali celana birunya sekaligus kemeja putih miliknya sebelum berlali menghampiri ibunya yang sudah berada di halaman.
***
“Man.. lulus Man lulusssss,” ibu Aliman memeluk tubuh Aliman yang tingginya hanya sekuping ibunya.
Aliman pandangan matanya kosong, ia merasa biasa saja apalagi melihat rata- rata nilainya yang cuma enam koma sekian. Aliman sendiri dalam keseharianya merasa selalu sakit kepala dengan keterangan guru di sekolahnya sekalipun ia berusaha sekuat hati memusatkan perhatian kepada seluruh keterangan guru, apa daya Aliman yang memang di lahirkan kedua dengan otak sangat pas- pasan. Beruntung saja dia masih banyak guru yang sayang pada dia karena kesehariannya yang rajin dan penurut meskipun untuk dapat nilai lima saja Aliman mesti peras keringat sekencangnya. Jadilah saya yakin bahwa yang menyelamatkan Aliman dari ujian nasional tahun ini adalah aliran doa dari guru- guru yang menyayangi dia meski tanpa doa ibu kandungnya sendiri. Ibu kandungnya tak mendoakan Aliman, kau percaya?.
***
“Bah, terimakasih.. terimakasi banyak atas bantuan doanya. Aliman lulus Bah,” ibu Aliman bicara dengan bola mata yang tampak sangat memuja pria berkulit kuning yang memaki baju taqwa sekaligus peci di hadapanya.
“Mana bungksan ijo itu Man?,” pria yang di panggil abah itu menatap Aliman tajam. Yang di tatap cuma balas memandang dengan padangan kosong.
“Ini, ini saya bawa Bah,” ibu Aliman menyodorkan sesuatu keatas meja, sesuatu itu agaknya bungkusan hijau yang biasa dikaitkan di celana dalam Aliman beserta dua lipatan kertas warna biru bergambar I Gusti Ngurah Rai di bawahnya.
Pria yang di panggil Abah itu mulai mengambil spidol hitam, ia menulis lafal Al- Qur’an tanpa harakat di atas bungkusan hijau yang ia pegang stelah sebelumnya ia memindahkan dua linting kertas warna biru bergambar I Gusti Ngurah Rai itu ke dalam saku baju taqwa yang ia pakai. Lafal tersebut menindas lafal sbelumnya yang pernah di tulis dan sudah pudar dimakan tahun.
Setelah selesai, bungkusan hijau tersebut di lempar pada Aliman. Aliman lengah hingga bungkusan itu jatuh ke lantai. Ibu Aliman mencubit keras paha kurus Aliman tanda supaya ia mestinya segera mengambil bungkusan tersebut dari atas lantai.
“Ayo.. segera di pasang di tempat biasa..,” bentak Abah pada Aliman.
Dengan malas Aliman mengambil bungkusan hijau yang tergeletak di lantai tanpa menggeser duduknya sama sekali. Setelahnya, Aliman segera berdiri untuk memelorotkan celana jeans abu- abunya dan mengaitkan bungkusan tersebut pada celana dalamnya  kemudian segera ia pakai lagi celana jeans tersebut dan ia pun segera kembali duduk dikursi.
“Kelakuan anakmu Luk!,” bentak Abah dengan pandangan mata terarah pada ibu Aliman.
“Man.. kamu lulus itu berkat bantuan doanya Abah, yang sopan lain kali,” ibu Aliman merangkul pundak kurus Aliman.
“Masa kamu ndak percaya doa Man? Percuma ibu dorong- dorong kamu ngaji tiap sore di laggar kalau begitu,” lanjut ibu Aliman. Aliman cuma diam dengan tatapn datar.
***
Sekarang Aliman sudah berusia dua puluhan. Namun, bungkusan hijau yang biasa ia kaitnya di celana dalamnya tetap sama, peniti pengaitnya pun sama. Hari ini Aliman akan mengikuti tes CPNS di aula balai kelurahan demi tujuanya masuk ke dinas kebersihan kabupaten.
Aliman ternyata berdebar tidak karuan. Aliman melajukan sepeda bebeknya perlahan sekali menuju balai kelurahan. Tiba- tiba seluruh bayang tiga hari yang lalu melintas di bayangan Aliman.
“Abah tahu kan bahwa putra saya ini otaknya pas- pasan.. jadi mohon bantuan doanya..,” suara ibu Aliman yang mendominasi awalan percakapan.
“Yo.. nanti anakmu bakal kuberi amalan surat- surat Luk. Tapi ada tata caranya sendiri dan dia mesti ikuti kalau memang mau lolos tes..,” sahut pria yang di panggil Abah.
“Kamu mesti mau ya Man?,” nada bicara bu Aliman terdengar memastikan. Aliman Cuma mengangguk berat. Dalam hatinya, Aliman menjerit sekuatnya menahan semua tekanan antara hati kecil atau permintaan sang ibu. Aliman ingat apa yang di ajarkan Cak Wawan tiap sore ketika ia masih rutin mengaji di langgar, Cak Wawan selalu bilang bahwa Tuhan itu cuma satu, Cak Wawan selalu bilang bahwa perantara hubungan kita pada Tuhan bukan lewat benda- benda bersampul ayat Al- Qur’an seperti yang selalu di pakai di celana dalam Aliman sejak usianya sepuluh tahun.
“Man.. dengar man.. ojo ngelamun Man..” hardikan Abah membuyarkan rekaman ingatan Aliman.
“Ngge.. Bah,” Aliman memberanikan diri menyahut hardikan Abah.
“Dengar.. Kamu baca surat **** 3 kali, surat **** 7 kali sambil memusatkan padangan mata pada bungkusan hijau ini, khusus hari itu.. taruh bungkusan hijau itu di meja tempat kamu tes ya Man. Kemudian segera setelah tes, pasang lagi bungkusan ini di celana dalam milikmu,” Abah mulai menerangkan.
“Ngge Bah..,” Aliman menyanggupi meskipun hatinya sakit karena pertentangan yang begitu kuat.
Sosok lelaki tua dengan pikulan berisi kelapa muda yang terguling di tengah jalan membuyarkan lamunan Aliman untuk tiga hari yang lalu. Aliman sesegera mungkin meminggirkan sepeda bebek warna merahnya di pinggir jalan dekat tenda warung- warung berjajar.
Oplet yang menyerempet tubuh renta kakek pembawa pikulan itu sudah ramai di kerubuti warga yang mengadang laju oplet itu sebagi usaha untuk kabur dari tanggung jawab. Aliman dan beberapa orang lainnya menghampiri kakek tua itu, beberapa orang menyelamatkan pikulan kakek itu sedang Aliman sendiri membopong tubuh kakek itu ke pinggir jalan. Tak sadar Aliman bahwa waktu untuk tes kurang dua puluh lima menit lagi.
“Sudah nak.. biar kakek di sini saja. Banyak yang mengurus kakek. Pergilah segera ke tempat tujuanmu,” bisik kakek itu di kuping Aliman. Aliman kaget sekali, ia tak menyangka bahwa kakek itu mengetahui ia tengah buru- buru mesti pergi.
“Mas, njenengan tolong kakek ini ya? Saya mesti buru- buru pergi ke balai kelurahan..,” teriak Aliman pada salah seorang pria di dalam warung. Pria tersebut segera menghampiri Aliman dan kakek tersebut. Aliman segera menghidupkan mesin sepedanya.
“Pasti berhasil nak. Aku mendoakanmu, terimakasih sudah membantu aku..,” teriak kakek tersebut ketika Aliman sudah mulai melajukan motornya.
Aliman mendengar itu, namun Aliman tak terlalu menggubris ucapan kakek tua itu. Aliman cuma ingin segera sampai di tempat tujuan, mengamalkan ucapan Abah kemudian mengerjakan soal tes.
***
Beberapa minggu kemudian, tetangga Aliman yang kebetulan bekerja di dinas kebersihan memberi bocoran pada Aliman bahwa ia lolos tes CPNS. Aliman dan keluarganya bersorak kemudian atas inisiatif Aliman untuk pertama kalinya ia mengajak sang ibu untuk pergi kerumah Abah dengan tujuan berterimakasih atas keberhasilan Aliman. Cepat- cepat Aliman menyalakan motor bebek warna merahnya kemudian ia lajukan motor tersebut dengan membonceng ibunya menuju rumah Abah.
Di tengah perjalanan, Aliman sadar ada sesuatu yang hilang. Ia sadar bungkusan hijau itu tidak terkait seperti biasa di celana dalamnya, yang terkait cuma peniti kusam pasangan bungkusan itu. Aliman gelisah luar biasa.. ia tiba- tiba merasa bahwa bungkusan itu merupaka juru selamatnya. Aliman tak sadar bahwa ada oplet berhenti mendadak di depan motor miliknya. Aliman menabrak oplet tersebut. Aliman terguling ke dalam parit sedangkan ibunya terlepar ke jalan raya bersama motor Aliman.
“Bungkusan itu..,” desah Aliman dalam napas- napas terakhirnya. Aliman pikir karena hilang bungkusan itu, ia dan ibunya jadi tertimpa sial. Di tengah kecamuk pikirannya yang seperti itu, Aliman berhenti bernapas.
“Imaaaaaaaaaaaaan!,” teriak ibu Aliman yang hanya terluka ringan di lengan kanannya ketika jenazah Aliman di angkut ke dalam Bajaj.

Aku di angkut bersama tubuh Aliman. Kau tahu? Aku lah yang paling dekat dengan Aliman selama ini, aku.. peniti bungkusan hijau yang biasa di kaitkan Aliman di celana dalamnya. Kelak aku adalah salah satu yang  berhak jadi saksi di depan Tuhan atas apa yang di perbuat Aliman selama di dunia..

..SELESAI..

Saturday, June 8, 2013

(ARTI LIRIK) Bedah lagu "You Make My World So Colourful" by Daniel Sahuleka


“You Make My World So Colourful” adalah lagu yang cantiiiiik banget menurut saya! Selain karena susunan liriknya berupa gambaran cinta antar anak manusia yang lembut, penuh rasa syukur, dan sama sekali nggak cengeng, Daniel Sahuleka sebagai penyanyi juga punya suara khas dan penghayatan lagu yang luar biasa! Hingga pesan dari lagu itu sendiri benar- benar sampai di hati pendengar, bukan cuma sampai di kuping! Berikut di bawah ini secuil informasi soal Daniel Sahuleka..
Daniel Sahuleka (lahir di Semarang, Jawa Tengah, Indonesia, 6 Desember 1950; umur 62 tahun) adalah seorang penyanyi Belanda yang berdarah Ambon, Indonesia. Ia tinggal di Winterswijk. Bakat menyanyinya dicuatkan oleh Rudy Bennett. Daniel tidak banyak menerbitkan album. Beberapa lagunya yang terkenal di Indonesia, antara lain: You Make My World So Colorful yang muncul pada awal 1980-an sebagai salah satu lagu dalam album Daniel Sahuleka (1977) dan "Don't Sleep Away The Night" yang merupakan singel album dengan judul yang sama pada tahun 1978. Pada awal kariernya sebagai penyanyi rekaman, Daniel bernaung di bawah Polydor (Belanda). (copas dari http://id.wikipedia.org/wiki/Daniel_Sahuleka selengkapnya baca sendiri yaa).
Lanjut..
Kita bedah salah satu lagu Daniel Sahuleka yukk..
Ini dia.. “You Make My World So Colourful”
Morning sunshine in our room : Matahari pagi masuk di ruangan kita
Now that room is back in tune : Sekarang ruangan itu kembali selaras
Autumn start this day with a smile : Musim gugur mulai hari ini dengan sebuah senyuman
And laugh at my beautiful love one : Dan tawa pada orang yang paling indah
Who’s lying besides me : Dia yang merebahkan diri disebelahku
Bait pertama ini menggambarkan seseorang yang bangun di pagi hari dengan gambaran rasa syukur (Morning sunshine in our room, Now that room is back in tune, Autumn start this day with a smile) karena orang yang ia cintai atau bisa disebut sebagai pasangannya (And laugh at my beautiful love one) berada di ruangan yang sama dengannya (kamar tidur : who’s lying besides me).
You so far away in your sleep : Kamu begitu jauh dalam tidurmu (nyenyak)
Who can tell what dream you may dream : Siapa yang bisa menceritakan apa yang mungkin kamu impikan
You dont know that I was drawing : Kamu tidak tahu bahwa aku menggambar (mengelus)
With my finger on your sweet young face : Dengan jari di wajahmu yang manis
Vague as a meaning words : Sarat akan makna
Bait kedua menggambar seseorang yang sama seperti disebut di bait pertama memperhatikan wajah pasangannya yang masih tertidur lelap (You so far away in your sleep, Who can tell what dream you may dream) kemudian seseorang tersebut mengelus wajah pasangannya dengan tetap menunjukkan rasa syukur karena dapat memiliki sosok yang di anggapnya paling indah (You dont know that I was drawing, With my finger on your sweet young face, Vague as a meaning words).

Like a summer breeze so soft : Seperti musim panas yang sepoi-sepoi sangat lembut
Like a rose you bring me near : Seperti mawar kamu membawaku dekat
And I kiss your lips so sweet : Dan aku mencium bibirmu betapa manisnya
Soft like the rain and gentle as : Lembut seperti hujan
The morning dew in may : Embun pagi di bulan mei

Though they said that : Meskipun mereka mengatakan
I was wrong : Aku salah
But thank god my will so strong : Tapi terimakasih,Tuhan. Aku tetap kuat
I got you in the palm of my hand : Aku mendapatimu telapak tanganmu di atas kepalaku
Everyday they tried to put me on : Setiap hari mereka mencoba untuk menempatkan aku (menyalahkan aku)

But I laugh at those who tried to hurt our love : Tapi aku menertawakan mereka yang coba melukai cinta kita

Di balik Pena Cerita Kecil "Bangku Angkot dan Ketukan Nurani"

           
            Nulis itu kadang emang perlu di paksa. Weittzzz bukan kadang tapi mesti sering di paksa buat orang macam saya ini yang males banget menyelesaikan tulisan kecuali dalam tekanan dan keterpaksaan -_- Semester satu lalu saya salut banget sama pemaksaan menulis yang di lakukan dosen salah satu mata kuliah saya, beliau adalah mr. Zamrud Khatulistiwa. Zamrud Khatulistiwa sebenarnya hanya salah satu nama pena bapak dosen yang menurut desas desus yang beredar antar teman dan kakak kelas paling pelit memberi nilai.
            Nah, pemaksaan untuk menulis bebas ini terjadi waktu UAS. Ngga seperti dosen lain yang waktu itu sebagian besar menerapkan ujian tertulis waktu UAS, mr Zamrud Khatulistiwa malah menyuruh kami menulis bebas. Ngga sepenuhnya bebas sih, karena ada batasan tulisan seperti apa yang mesti di tulis, bisa di bilang bebas sendiri karena di dalamnya kami bebas menuangkan teriakan ide- ide kami hohooo. Yang lebih asyik, tulisan yang kami buat harus juga mengandung teori- teori yang telah di ajarkan di kelas dan itu memang jauh lebih bisa bikin kami menghayati teori yang ada dari pada disodori ujian tertulis berisikan nyanyian teori saja.
            Waktu yang di berikan sekitar satu minggu tapi dengan gaya sok seniman yang nunggu mood segala, saya dengan elegan dan memesona malah menyelesaikan tugas tersebutsehari sebelum tanggal pengumpulan #jangaaaan ditiru yaaa >,<
            Di bawah ini adalah hasil tulisan saya waktu itu dan alhamdulillah dapat apresiasi yang menggembirakan dari mr. Zamrud Khatulistiwa ^,~ 

Bangku Angkot dan Ketukan Nurani
Tiga tahun yang lalu, bermodalkan majalah ‘intisari’ hasil pinjaman dari tetangga, saya mendapati sebuah artikel yang sangat menarik. Artikel tersebut terlihat sederhana, namun benar- benar mengetuk nurani saya.
Bagaimana tidak?. Artikel tersebut menceritakan pengalaman salah seorang pembaca majalah ‘intisari’ ketika menaiki angkutan umum. Ada kisah apa kiranya didalam angkutan umum tersebut?. Ternyata pembaca tersebut menaiki angkutan kota yang benar- benar penuh sesak dengan penumpang. Salah seorang penumpangnya adalah perempuan muda dengan kaki kiri yang kurang sempurna, ia duduk di ambang pintu angkot. Kejadian yang menghentak nurani namun sering tidak disadari oleh kebanyakan orang adalah dalam keadaan angkutan kota yang penuh sesak, ada penumpang baru masuk kedalam angkutan kota tersebut, penumpang- penumpang lain yang memang telah masuk sedari tadi kedalam angkutan kota dan duduk di ambang pintu angkot, semuanya bersikap tak acuh dengan kehadiran penumpang baru yang nampak kebingungan mencari tepat duduk sedangkan angkutan kota tersebut hendak segera berangkat. Dengan mimik tenang, perempuan muda dengan kaki kiri yang kurang sempurna tadi rela menggeser tempat duduknya untuk penumpang baru tadi, perempuan itu pun duduk lebih menjorok kedalam angkutan kota, bukan diambang pintu seperti sebelum penumpang baru tadi masuk.
Beberapa meter dari lokasi masuknya penumpang baru tadi, perempuan tadi ternyata turun dari angkutan kota. Memang ia susah payah untuk turun dari angkutan kota dengan posisi duduknya yang menjorok kedalam angkutan kota. Dari sana, hati penulis cerita tersebut terketuk. Bagaimana empati kita saat ini benar- benar mati. Bagaimana banyak dari kita menonjolkan individualisme tanpa perduli yang lain lagi. Kita bahkan kalah dengan orang yang secara fisik kurang sempurna kaitannya dengan empati. Didalam angkutan kota yang dikisahkan tersebut, para penumpang yang jarak tempuh tujuannya sebenarnya lebih panjang dari perempuan tadi, enggan menggeser sedikit posisi duduknya demi mempermudah penumpang yang baru masuk kedalam angkutan kota karena enggan bersusah payah apabila nantinya keluar dari dalam angkutan kota ditengah padatnya penumpang.
Setelah membaca artikel tersebut, saya mulai bertanya pada diri saya sendiri. Saya masuk kedalam golongan manusia yang mana?. Yang masih memliki empati ataukah yang secara tidak sadar menerapkan prinsip individualisme dalam lingkungan sosial?. Beberapa
saat kemudian, saya menukan jawabannya. Saya ternyata termasuk orang yang menerapkan prinsip individualisme. Empati saya tidak tajam. Saya termasuk pengguna aktif angkutan kota kala itu, namun saya dengan kesadaran penuh malah melakukan hal yang sama dengan sebagian besar pemumpang yang diceritakan dalam artikel tersebut. Saya belum mampu melakukan hal yang mengandung toleransi dan empati tinggi seperti perempuan muda dengan kaki kiri yang tidak sempurna dalam artikel tersebut.
Semenjak membaca artikel tersebut, saya selalu menekankan diri saya untuk selalu mengasah toleransi sekaligus empati dalam lingkungan sosial. Mengapa seorang dengan fisik kurang sempurna seperti dikisahkan dalam artikel yang saya baca tersebut sanggup melakukannya sedang saya tidak?. Itu sesuatu yang benar- benar membuat saya sangat malu.
                                                           

Friday, June 7, 2013

"Carossel" Renyah, Ringan, Punya Makna Dalam

#Carossel
Carrosel mulai di tayangkan di stasiun televisi swasta trans 7 tanggal 3 juni 2013. Sebagian orang mungkin cuma menganggap film tersebut merupakan film berisi gambaran dunia anak- anak. Namun, yang saya tangkap dari film tersebut benar- benar lain, Carossel bukan cuma sajian film berisi sepenuhnya dunia anak- anak dengan berbagai permasalahan yang mungkin keliatan sederhana di mata kita sebagai orang dewasa. Lebih jauh lagi, Carossel sebenarnya merupakan film bergenre keluarga dimana isi sajiannya penuh berisikan pendidikan yang dikemas renyah dan ringan sekaligus punya makna mendalam.
Meskipun hingga hari ini Carossel belum sampai tayang puluhan episode, namun saya menangkap banyak hal berkaitan dengan pendidikan dalam film ini. Film yang tayang hari senin hingga jumat ini mengisahkan keping- keping cerita seorang guru pengganti yang masih sangat muda dan cantik bernama ibu Helena bersama anak- anak didiknya dengan rupa- rupa warna karakter di sekolah dasar tingkat tiga. Kumpulan murid di kelas tiga tersebut mendapat stigma bebal alias susah sekali di atur hampir oleh selurh warga sekolah. Namun, sekalipun telah mendapat bisikan- bisikan miring soal keadaan kelas tersebut dari beberapa warga sekolah, ibu Helena tetap bersemangat melanjutkan langkah kakinya menuju kelas tersebut.
Nyatanya, ibu Helena memang berbeda dari guru- guru kebanyakan yang cuma mau tahu bahwa anak didiknya berhasil di transfer materi akademis. Ibu Helena, selain mengajarkan bidang akademis terhadap anak didiknya ternyata juga mendalami masing- masing latar belakang juga karakter anak didiknya secara personal. Dengan cepat, ibu Helena mampu mengenal satu per satu warna karakter dan latar belakang anak didik yang berada di kelasnya. Beberapa warna karakter yang di gambarkan dalam film sekaligus di dalami oleh ibu Helena antara lain: Cirilo, seorang keturunan negro dengan latar belakang keluarga tukang kayu sederhana yang sangat sadar arti pendidikan. Kedua orang tua Cirilo membuka komunikasi yang akrab dan terbuka dengan anak mereka. Di salah satu episode “Carossel”, pernah di gambarkan Cirilo tidak percaya diri dengan warna kulitnya yang hitam. Cirilo mulai tidak percaya diri akibat penolakan seorang siswi baru di kelasnya yang bernama Maria atas ajakan pertemanan Cirilo. Cirilo sendiri dalam keseharianya merupakan seorang yang berani dan rela berkorban sedangkan Maria merupakan seorang yang sangat angkuh. Maria sendiri masuk di sekolah tersebut setelah sebelumnya masuk di sekolah berisi orang- orang ‘berkantong tebal’ atas usulan ayahnya agar Maria mampu merubah perangainya yang angkuh. Maria sendiri memang berasal dari keluarga berkecukupan, ayahnya adalah seorang dokter dan ia selalu berbangga hati atas profesi ayahnya berbeda dengan Cirilo yang di satu waktu pernah tidak percaya diri atas profesi ayahnya karena penolakan permintannya untuk berteman dengan Maria. Ibu Helena sudah mampu membaca keangkuhan Maria dari awal perjumpaan namun, pada kenyataannya ibu Helena tidak menjelekkan Maria sama sekali di depan Cirilo meskipun Cirilo telah menceritakan kesedihannya atas penolakan Maria yang cenderung kasar. Ibu Helena hanya mengatakan pada Cirilo bahwa Maria mungkin masih bingung dengan suasana baru di sekolah tersebut hingga perilakunya seperti itu pada Cirilo yang berarti bukan karena kulit hitam atau pekerjaan orang tua Cirilo hingga Cirilo bersama teman- temannya yang lain mesti membantu Maria beradaptasi di sekolah tersebut dengan cara tidak menjauhi Maria meski sikapnya sangat menjengkelkan.
Selain Cirilo, ada juga Valeria yang memiliki pengaruh kuat di antara teman- teman perempuannya, Valeria berani berdiri pada keyakinannya sendiri, ia memiliki keseharian yang ceria. Valeria duduk di bangku kedua dari belakang. Di belakang bangku Valeria, ada Dafi. Dafi punya perangai yang lebih lembut, Dafi ternyata juga seorang yang rela berkorban. Pada satu episode, Valeria sangat keakutan karena telah mengotori buku milik ibu Helena, ketika itu tidak ada saksi lain selain  Dafi. Singkat cerita, Dafi membalik cerita bahwa yang yang mengotori buku ibu Helena adalah dirinya bukan Valeria. Hasilnya, Dafi mendapat hukuman dari ibu Helena. Valeria merasa tidak tenang karena rasa bersalahnya membiarkan Dafi menjadi kambing hitam hingga ia memberanikan diri untuk mengajak ibu Helena bicara empat mata untuk menjelaskan duduk persoalan yang sebenarnya. Ibu helena mengerti, ia membebaskan Dafi dari hukuman. Valeria menyangka dirinya akan mendapat hukuman yang jauh lebih berat dari Dafi, tapi ternyata ibu Helena membebaskan Valeria dari hukuman karena telah berani bicara jujur.
Selain dekat dengan anak didiknya, ibu Helena juga dekat dengan orang tua anak didiknya, gambaran kedekatan tersebut terlihat dari bagaimana cara ibu Helena mengomunikasikan apa yang terjadi dengan anak didiknya dengan orang tua anak didik, misalnya ketika mendapat hukuman, ibu Helena mengomunikasikan sebab terjadinya hukuman dan kompensasi apa yang mesti di lakukan anak didiknya untuk menebus kesalahan melalui buku agenda yang harus di tunjukkan peserta didik yang bersangkutan kepada orang tuanya. Tak hanya melalui agenda, ibu Helena juga mengomunikasikan hambatan yang di alami anak didik kepada orang tua melalui telepon pribadi.
Gambaran ibu Helena merupakan sosok guru yang penuh mengartikan arti pendidikan yang sungguh berarti pendidikan, bukan cuma transfer bidang akademis melainkan juga penanaman nilai melalui pendekatan personal terhadap masing- masing anak didiknya.

 Serpihan kecil gambaran film yang saya gambarkan disini sebenarnya belum menggambarkan keseluruhan sajian “Carossel”, namun percaya atau tidak, sosok ibu Helena dalam film ini mengingatkan saya pada sosok guru di masa sekolah dasar saya, sosok ibu Helena bukan sosok fiktif yang mustahil ada di dunia nyata. Bagaimana sosok ibu Helena di dunia nyata ini di mata saya? Saya akan menceritakan itu lain waktu ^_^

Thursday, June 6, 2013

"Rembuk" bagian 2

“Ingat.. kita hanyalah abdi.. lakukan sebaik mungkin,” sebuah tangan sudah menarik tubuh teman bicara pertama dalam hidupku itu dengan cukup cepat.
“Kau tahu! Itu cahaya! Sesuatu yang masuk ketika langit- langit itu dibuka, sesuatu yang masuk sebelum tangan tangan itu menjamahi kita lagi! Itu!,” teriakku padanya.
“Cahaya? Sangat menyakitkan bola mataku, cahaya tidak menyenangkan.. ,” dia tersenyum tipis buatku sebelum benar- benar menghilang bersama tangan- tangan itu.
Guncangan dalam ruangan terjadi lagi. Langit- langit ditutup lagi, sekelilingku gelap lagi.. aku menutup rapat- rapat kelopak mataku lagi.. aku mengulang pernyataan gadis tadi.. benarkah golongan kami cuma abdi?.
***
Terpaksa kubuka mataku ketika kurasa gaduh percakapan manusia diluar ruangan menusuki kupingku. Ketika mulai membuka kelopak mata, rasa sakit luar biasa menjalar pada seluruh saraf mata milikku. Aku paham rasa ini.. rasa ketika aku kembali bertatap muka dengan cahaya setelah sekian lama kami berpisah..
***
“Tak usah teriak berlebihan nak.. suaramu sangat menjijikkan!,” kakek tua yang tubuhnya bersandar di dinding dekat kursi tempatku duduk dengan formasi barisan yang entah siapa menentukan bersama golonganku agaknya berusaha mengajak aku berbicara.
“Kau tak tahu apa yang kurasakan, tempat apa ini?! Cahaya begitu berlebihan, mataku seperti terbakar!,” balasku dengan nada membentak pada kakek itu.
“Nanti juga kamu akan tahu nak, tapi sebelum itu tutuplah mulutmu dulu. Kamu punya isi mulut yang sungguh menjijikkan,” kakek itu membalas bentakanku dengan datar dan tenang hingga aku merasa kikuk.
Aku melihat ke arah depan, ada warna- warna golongan yang asing bagiku ada di depan mata. Aku berusaha menggoyangkan badanku, berusaha menunjukkan bahwa aku ada.
“Hey! Lihat sini! Hey! Apa kita bakal disini selamanya?,” teriakku ke arah depan.
Salah satu anggota golongan yang berada di depanku menatap aku dengan marah.
“Diamlah! Kita cuma abdi! Jangan sok kritis kamu di tempat ini!,” teriaknya padaku.
“Apa maksudmu kita cuma abdi? Apa?!,” tanyaku padanya seperti tak perduli lagaknya yang tak mau menerima kehadiranku.
Dia yang kulempar pertanyaan cuma diam kemudian memalingkan muka dari pandanganku.
“Ssst diamlah nak, simpan api- apimu yang meletup tak karuan itu. Tatap sekelilingmu, nanti kamu akan tahu nak,” suara kakek yang tubuhnya bersandar di dinding tadi berusaha menenangkan segala rasa penasaranku.
Aku menata napasku yang berantakan sambil menahan banyak pertanyaan dalam kepalaku. Sesekali kulirik kakek tadi, dia memejamkan kelopak mata keriputnya erat- erat tak ingin lagi sepertinya ku ganggu dengan banyak tanya dariku.
***
“Dop di ambil! Dop di ambil!,” gaduh kudengar suara dari sekelilingku.
“Buka lebar- lebar matamu nak..! ” teriak si kakek tua dengan tubuh yang tetap bersandar di dinding.
Aku melihat sosok yang di teriaki sebagai Dop itu di jamahi tangan- tangan yang sangat banyak. Setelahnya, Dop menghilang.
“Kakek! Kakek! Dimana sosok yang diteriaki dengan nama Dop tadi?,” tanyaku buru- buru.
“Dia berangkat untuk mengabdi nak..,”
“Mengabdi apa Kakek? mengabdi apa?,”
“Aku sebenarnya benci kata- kata itu, kita bukan abdi manusia,” kakek itu tertunduk.
“Suatu hari, kau pasti juga di ambil. Bolehlah kau mengabdi dengan melakukan segala yang jadi tugasmu dengan baik tapi jangan anggap manusia itu Tuhanmu,” lanjut kakek itu.
“Aku tidak paham Kakek..”
“Kita mungkin seperti abdi selama di muka bumi tapi kita sebenarnya adalah kepercayaan Tuhan sebagai saksi..”
“Aku.. ,” belum lengkap aku berbicara, Kakek itu sudah bicara lagi.
“Kau suatu hari pasti diambil, beda dengan ku. Aku.. bebas..” kakek itu mulai berjalan menjauhi dinding, kukira karena punggungnya ngilu banyak bersandar di dinding tapi ternyata ia hendak pergi.
Sebelum kakek itu beranjak makin jauh, aku merasakan sebuah tangan menjamahi tubuhku. Aku meronta sekuatnya aku.
“Kakek! kenapa aku di ambil sedang kau tidak?!,” aku berteriak sekuatnya demi pertanyaan terakhirku.
“Karena aku..debu.. aku bebas nak.. ingat kita adalah kepercayaan Tuhan, kita saksi- saksi kepercayaanNya nak.. ,” Kakek itu terbang di bawa angin. Angin ringan sekali membawa tubuh tipis milik kakek itu. Kakek itu adalah teman bicara keduaku..
***
Tangan itu melempar aku ke atas sebuah lantai warna abu- abu yang sangat dingin. Setelahnya, tangan yang lain menyoroti aku dengan lampu warna merah yang entah apa namanya.
“Tiga ribu dua ratus mbak.. ,” si penyorot lampu warna merah itu mulai berucap pada seseorang di depannya.

“Iya terimakasih kunjungannya,” si penyorot lampu berucap lagi setelah menerima suatu benda dari seseorang di depannya. Kemudian ia memasukkan aku pada sebuah kantong putih yang baunya pengap namun ketika ada di dalamnya, aku bersukur masih mampu menemukan cahaya di dalamnya. Kantong tempatku di lempar ini menyerupai ruangan putih yang berguncang- guncang cukup keras seperti disentuh badai padahal gerakan ini menurut tangan pembawanya.

Tuesday, June 4, 2013

Soal Juni "Awal Masuk TK"

Malang, 5 juni 2013

9.33 am

June,5th 94 hohooo itu tanggal, bulan n tahun lahirku *kedipin mata kiri. Juni itu musimnya cari sekolah lohh,hehe ngga kerasa sekarang saya udah nangkring di bangku kuliahan *sayaaaaa tuaaaaaaaaaa hikz, weittzz tapi bangganya saya udah punya hak pilih nih dan bisa menyalurkan hobi golput saya di sana hohooo *tawa sombong nb:adegan ini bukan untuk ditiru.
Kembali ke benang merah jambu.. Ngomong2 soal juni itu musim cari sekolahan, saya jadi inget jaman masuk TK. Waktu itu saya langsung nangring di kelas nol besar hohoo.. hebat kaaanddd ngga pake nol kecil duluan, yaaah itu karena IQ saya yang berlebihan.. jadi niatnya masuk TK Cuma cari ijazah. Tapi alasan aslinya sih.. selain cari ijasah, biaya waktu itu lumayan bikin cerobong dapur kifosis -_- tapi ngga apa- apa.. saya tetap mempesona *ehhh O_Oa yaaa intinya waktu itu aku di terima karena IQ saya yang berlebihan ini, saya di terima di TK Perwira Malang karena di anggep ngga bakalan nyusain guru kali yaa meskipun langsung masuk nol besar hohooo *ketawa ala kuntilanak.

...BERSAMBUNG KAPAN2..

"Rembuk" bagian 1

Bolehlah kamu panggil aku Rembuk. Rembuk saja, tak apa Rembuk saja tanpa embel- embel yang lain karena aku memang tidak punya nama lain. Bolehlah lidahmu menjulur depan mukaku sambil berkoar nama ini aneh. Boleh.. sangat boleh.. toh aku tak akan mampu melawan kamu, toh aku juga tak ada kerabat buat bantu melawan kamu. Nama ini pun bukan nama yang di beri sanak kerabat atau apa siapa yang terkasih buat menandai wujud diriku. Nama ini kupilih sendiri, karena sering kudengar orang- orang memanggil golongan kami begitu..
***
Kalau kamu mau tahu, ketika buka mata tahu- tahu aku ada disana. Satu tempat berlantai kardus warna coklat, satu tempat berdinding kardus warna coklat, satu tempat beratap kardus warna coklat. Waktu itu, aku dilempar kesana berbarengan dengan golonganku. Diluar ruangan, riuh suara manusia bercakap ini itu tak mampu kutangkap intinya. Tahu- tahu, ruangan ini bergoncang dan aku mulai menutup rapat kelopak mata takut melihat apa yang setelahnya terjadi. Goncangan dalam ruangan makin keras, kemudian ruangan ini terasa seperti dihempas badai besar hingga ketika aku beranikan diri membuka mata, wajahku tak lagi mampu memandang langit- langit ruangan ini karena seluruh wajahku malah sudah mencium lekat- lekat langit ruangan. Aku merasa sesak, nyata terasa aku tertindih golonganku sendiri, semua gelap.. tak ada suara.. Aku teriak sebisanya aku tapi tidak ada suara lain membalas teriakanku yang bisa pastikan aku bakal baik- baik saja. Aku terlalu kecil.. jantung dan paru- paruku terasa sangat panas seperti ingin meledup, sekali lagi aku berteriak sekuatnya aku, aku ingin ada satu suara lain membalas teriakan ini, biar pasti aku tidak akan apa- apa disini. Ini tenaga terakhirku buat menjerit.. aku merasa sangat pusing kemudian menutup mata, sejenak aku merasa hening..
***
“Kau berteriak berlebihan.. kau laki- laki bukan? Penakut sekali!,” ucap sinis satu sosok yang kurasa berada di samping kiriku. Kali itu, wajahku tak lagi mencium langit- langit. Wajahku sudah mampu memandang langit- langit dengan normal dari atas lantai tempatku merentangkan tubuh.
“Kau siapa! Tentu.. tentu aku sangat takut! Aku bahkan tak ingat  berapa lama aku tak melihat cahaya!, apa kau tidak merasa satu rasa yang sama denganku?! Bukankah kita satu golongan?!,” aku berteriak di kupingnya sambil menahan air mata yang nyaris tumpah dari kantong mataku.
“Jangan sok! Dari mana kau tahu cahaya?,” dia balik membentak aku.
“Sebelum tangan- tangan itu menjamah tubuhku kemudian melempar aku kesini, aku melihat cahaya putih terang di depan mataku,” ucapanku melembut.
“Kau merasa sedih? Kau merasa hampa? Kau merasa kecewa? Kau merasa ada satu hal yang hilang,” tanyanya mendadak juga lembut.
“Tentu! cahaya itu begitu cantik, ramah dan hangat di tubuhku! Apa kamu tidak pernah bertemu dia? Aku begitu berat mencintai dia! Dia.. dia satu wujud pertama dan yang ku kira terakhir seumur hidupku yang sungguh mampu merangkul aku,” air mata dalam kantung mataku tak lagi terbendung.
“Aku tak pernah bertemu dia, maka aku tak tahu harganya meski seandainya aku berhak untuk dirangkulnya,” dia menjawab cepat kemudian memalingkan wajah membelakangi mukaku.
Kami diam beberapa saat.
“Hey!,” bentakku karena rasa sebal tak di gubris lama oleh dia.
“Kita ini abdi.. kita cuma abdi.. jadi diam dan jalani sebaik mungkin,” dia tetap memunggungi mukaku.
Tiba- tiba terjadi guncangan hebat dalam ruangan itu. Gaduh kudengar suara manusia bercakap- cakap tanpa aku mampu menangkap inti percakapan tersebut. Langit- langit ruangan ini tiba- tiba terbuka, cahaya terang seperti menusuk mataku karena begitu lamanya aku tak melihat cahaya.
“Ingat.. kita hanyalah abdi.. lakukan sebaik mungkin,” sebuah tangan sudah menarik tubuh teman bicara pertama dalam hidupku itu dengan cukup cepat.
“Kau tahu! Itu cahaya! Sesuatu yang masuk ketika langit- langit itu dibuka, sesuatu yang masuk sebelum tangan tangan itu menjamahi kita lagi! Itu!,” teriakku padanya.
“Cahaya? Sangat menyakitkan bola mataku, cahaya tidak menyenangkan.. ,” dia tersenyum tipis buatku sebelum benar- benar menghilang bersama tangan- tangan itu.

Guncangan dalam ruangan terjadi lagi. Langit- langit ditutup lagi, sekelilingku gelap lagi.. aku menutup rapat- rapat kelopak mataku lagi.. aku mengulang pernyataan gadis tadi.. benarkah golongan kami cuma abdi?.
..BERSAMBUNG..

Buat Kamu,Mantan Patner Satu Juang

Malang, 27 april 2013
12.00 am

Semakin hari, aku semakin banyak menerima pesan- pesan buruk soal kamu dari yang lain.

Aku ingin menghardik mereka, memutar kepala mereka 180 derajat biar mereka melek lihat sisi baikmu.

Namun nyata, yang mereka bilang soal kamu bukan pesan- pesan buatan, bukan pesan- pesan berbumbu. Itu sisi lainmu, sisi lainmu yang sungguh bikin yang lain ingin mencekik kamu. Sebaliknya aku, aku habis- habisan merangkul kamu, berkata ini dan itu berharap kita bisa bergandeng tangan selamanya mengingat sama kita punya susunan ambisi yang tertata meski tidak serupa.

Tahu tidak? Aku membela kamu, aku sudah sering memutar kepala yang lain sekuatnya aku biar mereka mau.. mau melihat sisimu yang lain.. biar pesan- pesan busuk itu habis harapku..

Tahu tidak? Aku membela kamu, pedasnya lidahku buad hal- hal tidak benar yang kamu lakukan biar matamu melek bahwa itu tidak patut kamu genggam.

Aku sangat sayang padamu..
Sangat..
Sangat..
Sangat..

Kamu terluka, aku terluka. Kamu senang, aku senang.
Kuminta persaudaraan yang tulus..
Semurninya persaudaraan..
Tapi maha sulit..
Maha sulit buad mu..

Di akhir, kamu sering tidak menatap aku. Bola mata milikmu hilir mudik kesana- kemari, kemana saja asal tidak menangkap gurat wajahku.

Tahu tidak? Itu namanya bikin luka.
Luka padamu..
Luka padaku..

Di akhir kamu meludahi aku. Merampas dengan kasar itikad persaudaraan yang aku genggam.

Jika saja kita masih bisa saling menggandeng hari ini..
Jika saja..

Kupastikan kamu kubuat bangun dari hal- hal yang tidak patut kamu genggam biar pesan- pesan busuk itu jadi amplop lusuh yang kosong tanpa carik- carik hal buruk soal kamu..

Bersajak dan Melawan Nomor 112


Buku ini adalah kumpulan sajak saya dan kawan- kawan di grup "Bersajak Dan Melawan". Ini adalah salah satu tulisan saya yang sempat terekam dari tercecernya dokumentasi yang saya miliki. Tulisan ini kurang tepa agaknya bila di anggap sebagi sebuah sajak, tulisan ini lebih lengkap disebut sebagai rangkaian kata. Berikut salah satunya..

"aku jelas hendak ditaburi bubuk adiksi.
dia seperti hendak jadi hujan peredam buat mesiu di dalam batinku yang siap meledak.
siapa kamu?.
jangan merasa sudah maju selangkah dekat jiwaku!"



Alfanna Cyan Zorudikku