Tuesday, August 12, 2014

“Kamerad VS Dear” Bagian Bahasa Atau Ideologi?

Kata Dear akrab dalam penggunaan surat atau pun ucapan tertulis lainnya di Indonesia. Dear biasa di tuliskan sebelum nama tertuju. Kata tersebut dijadikan kata ganti ‘yang terhormat’, ‘kawan’, ‘teman’, atau juga ‘yang tersayang’.
Bagaimana dengan Kamerad?. Jauh berbeda dengan Dear. Menggunakan mesin pencari seperti google yang berbahasa Indonesia. Kamerad di artikan sebagai sapaan ala komunis atau ejekan seseorang yang anti komunis terhadap komunis.
Berbanding lurus dengan makna Kamerad dalam mesin pencari google yang berbahasa Indonesia. Banyak orang Indonesia yang begitu takut dan buru- buru memberi stigma komunis kepada orang yang berani menuliskan kata Kamerad baik dalam tulisan tangan maupun media sosial. Benarkah Kamerad merupakan bagian dari ideologi komunis?.
Dalam buku ‘An Unknown Message From Chinnese Mother’ Xinran, seorang penyiar Radio, wartawati dan penulis kebangsaan Cina yang lahir di Beijing pada tahun 1958 menceritakan salah satu kisah wanita Cina yang kehilangan putrinya melalui sebuah surat yang di kirim pada stasiun radio.
Xinran membacakan surat tersebut secara langsung dalam siaran. Ia menuliskan dalam bukunya bahwa begitu kagetnya ketika membacakan surat tersebut karena ternyata kata pembuka dibuka dengan ‘Dear’ sebelum menyebut nama Xinran sebagai tertuju. Padahal, sapaan pembuka yang jamak di pakai disana adalah Kamerad sebelum menulis nama tertuju. Setelah membacakan keseluruhan isi surat barulah terungkap bahwa si penulis memang sempat mengenyam pendidikan di negara barat.
Terbalik dengan keadaan di Indonesia. Perang pengaruh antara blok barat dan blok timur di menangkan oleh blok timur di Cina. Kebarat- baratan di anggap terlarang di Cina. Kata Dear termasuk bagian dari bahasa yang di anggap ideologi barat.

          Dear maupun Kamerad sesungguhnya adalah bagian dari bahasa yang tersangkut dalam proses penyebaran ideologi. Keduanya adalah bahasa. Bahasa merupakan proses terbentuknya kebudayaan yang sudah ada jauh sebelum ideologi- ideologi bermunculan. Masihkan menganggap salah satunya terlarang?.

Undangan Pesta Tasya

Waow.. kali pertama bikin cerpen anak nih! semoga berkenan!


“Mita. Kamu datang ya ke acara ulang tahunku ,” dengan suara berbisik, Tasya memberikan sebuah undangan berbentuk kelinci di bawah bangku.
“Ya. Terimakasih ,” Mita tersenyum dengan tangan kanan menerima undangan. Dalam
hati ia bertanya mengapa Tasya berbisik- bisik. Bukankah undangan ulang tahun adalah kabar gembira yang harus di umumkan dengan suara keras dan gembira?.
***
“Tasya kita belikan kado apa Mit? ,” Mama bertanya pada Mita yang sibuk menonton televisi.
“Terserah Mama saja ,” Mita menjawab sambil tangannya sibuk memencet remote televisi.
“Tasya itu teman kamu. Dia mengundang kamu karena senang bila kamu datang apalagi membawa kado istimewa ,” Mama mengelus kepala Mita.
“Baiklah Ma. Temani Mita ke toko buku sore ini. Mita akan membeli satu buku sebagai hadiah untuk Tasya ,”
“Siap ibu Ratu ,” Mama menjulurkan lidah sambil mencubit pipi Mita.
***
Pesta ulang tahun dilaksanakan di sebuah restoran mewah. Sepanjang pesta ulang tahun Mita cuma cemberut. Pulang dari pesta, ia langsung masuk ke kamar dan menutup pintu.
“Mita kenapa? Sepanjang pesta cuma cemberut tadi ,” Mama mengelus kepala Mita.
“Mita sebal Ma!. Tiga teman sekelas Mita yang berasal dari panti asuhan tidak ada di pesta itu. Mungkin mereka tidak diundang oleh Tasya ,” mata Mita berkaca- kaca.
“Bukan tidak di undang. Tapi mungkin mereka bertiga tidak boleh hadir oleh ibu
panti karena mereka tidak ada yang mengantar. Kalau Mita belum lega, coba tanya pada mereka bertiga kenapa tidak datang di pesta ulang tahun Tasya ,”
Mita mengangguk.
***
Jam istirahat. Mita menghampiri Vina. Vina adalah salah satu dari tiga anak panti asuhan yang sekelas dengannya.
“Vina. Kenapa Vina, Kiki dan Dini tidak datang ke pesta ulang tahun Tasya kemarin? ,” tanya Mita.
“Pesta ulang tahun apa?. Kami tidak dapat undangan ,” jawab Vina.
“Kemarin Tasya berulang tahun di rumah makan mewah. Semua teman sekelas datang kecuali kalian bertiga ,”
“Kami benar- benar tidak dapat undangan. Coba tanya Kiki dan Dini kalau kamu tidak percaya ,” mata Vina berkaca- kaca.
Mita menghapiri Kiki dan Dini dan bertanya mengapa mereka tidak datang ke pesta ulang tahun Tasya. Kiki dan Dini pun mengatakan bahwa mereka juga tidak mendapat undangan. Kiki dan Dini kelihatan sangat sedih.
Itulah sebabnya kenapa Tasya memberikan kartu undangan ulang tahunnya di bawah meja sambil berbisik- bisik. Tasya rupanya tidak ingin tiga teman sekelas mereka yang berasal dari panti asuhan tahu bahwa ia akan mengadakan pesta, pikir Mita.
***
Pulang sekolah Mita langsung memeluk Mama. Mita menangis keras sekali.
“Mita kenapa? ,” mama bertanya.
“Vina, Kiki dan Dini memang tidak di undang oleh Tasya. Mereka kelihatan sedih sekali ,” jawab Mita.
Dahi Mama mengernyit.
“Tidak boleh begitu. Seharusnya semua teman sekelas di undang tidak perduli mereka kaya atau pun berasal dari panti asuhan ,”
“Kasihan sekali Vina, Kiki dan Dini kelihatan sangat sedih ,” tangisan Mita mulai reda.
“Mita berulang tahun bulan depan. Bagaimana kalau kamu mengundang semua teman sekelas dan juga ketiga teman sekelasmu yang berasal dari panti asuhan itu? ,” Mama memberi usul sambil mengelus kepala Mita.
“Iya Ma. Mita akan undang semua teman sekelas termasuk tiga teman sekelas yang berasal dari panti asuhan. Mita akan menabung mulai sekarang untuk membeli kue- kue pesta ulang tahun nanti ,” kata Mita bertekat.


TAMAT

Thursday, July 3, 2014

Nyaru


“Mereka di telanjangi ,”
“Di telanjangi? ,” kata di telanjangi begitu di tekan di lidahnya.
“Ya. Mereka amat malu. Dua tangan mereka berusaha menutup tubuh masing- masing tapi… ,”
***
Dua kakiku jongkok di atas nisan. Kilat putih tanpa suara berulang kali menusuki mataku.
Lalu lalang orang bawa kamera. Bibir mereka membentuk bulan sabit. Gigi mereka di pajang menampar angin. Kilat putih datang tiap beberapa detik. Menerpa muka mereka. Tangan mereka memeluk nisan. Erat. Badanku bergoyang.
Aku terkikik. Kantung mataku penuh dengan air.
***
“Tapi apa? ,” matanya menyipit. Pundakku di remas.
“Percuma. Dua tangan itu sebesar tanganmu. Cukupkah untuk menutup badan? ,”
***
Jari tangan wanita berambut hitam kemerahan merambat pelan di gundukan tanah. Kepalanya menoleh ke kanan. Ke wajah seorang wanita. Tambun. Kulit seluruh badannya berkerut. Kepalanya mengangguk meyakinkan.
“Cepat.. ,” wanita tambun berbisik sepelan dan sejelas mungkin. Tas berenda emas miliknya buru- buru di buka.
Beberapa kembang bercampur tanah buru- buru diraih wanita berambut hitam kemerahan dengan tangan kanannya. Genggamanya penuh. Tangannya masuk ke dalam tas
berenda emas si wanita tambun. Setelah keluar. Tangannya kosong.
Dua kakiku jongkok di atas nisan. Aku terkikik. Kantung mataku penuh dengan air.
***
“Dua tanganku?. Kenapa tanganku?. Bukankah kamu juga punya dua tangan yang sama? ,” telunjuknya menyentuh punggung tangan kiriku.
Aku terkikik.
“Aku ini cuma nyaru Nak.. ”
“Pipi ini ” aku menarik tangannya ke pipiku.
          Pipiku putih. Merah merona.
“Muka ini ” aku menarik tangannya biar merabai seluruh mukaku.
          Alisku tebal. Mataku biru. Bening. Kulitku halus. Bibirku merah. Tipis.
“Cuma nyaru Nak.. ,” kulepas tangannya.
“Nak?. Apa- apaan. Usiamu barangkali terpaut dua tahun lebih tua daripada aku. Dan.. ,”
***
Asma Tuhan bersahutan dari lain bibir. Masuk kuping kananku. Keluar kuping kiriku. Mereka yang memakai jubah putih.
Di bibir nama Tuhan di sebut. Dalam hati doa di ucap. Mata mereka tertuju pada
nisan sekalian gundukan tanah. Bayang si penghuni gundukan tanah berkelebat. Pikir mereka, si penghuni gundukan tanah bisa jadi perpanjangan tangan Tuhan Kabul doa mereka.
Dua kakiku jongkok di atas nisan. Aku terkikik. Kantung mataku penuh dengan air.
***
“..Nyaru itu apa? ,” dia melanjutkan ucapannya.
Nyaru itu meniru ,” bulu abu- abu keluar dari permukaan telapak tanganku.
“Aku tidak mengerti. Lalu. Apa pula yang terjadi pada dua orang telanjang itu? ,”
“Bongkahan buah terlarang yang di lahap si lelaki bertahan di lehernya. Jadi benjolan ” bulu abu- abu merambat ke lenganku.
“Sedangkan pada si wanita. Bongkahan buah itu terpecah dua dan bertahan di dada ,” bulu abu- abu merambat ke leherku.
Gadis ini. Terlalu lekat dia menatap tutur bibirku.
***
Merah jambu warna ransel itu. Gadis berambut sebahu menggendongnya di belakang punggung.
Matanya menyapu tandas muka- muka di sekeliling nisan dan gundukan tanah. Bunga- bunga di atas gundukan di raih banyak tangan sekalian serpihan tanahnya.
“Apa yang mereka kejar? ,” bisik si gadis.
***
“Mereka di turunkan dari surga ” bulu abu- abu sudah merambat ke pipiku.
“Kami sebelumnya sudah bersumpah bakal goda anak cucu lelaki dan wanita itu sesaat setelah si lelaki diciptakan Tuhan ”
Bola mata gadis ini mendadak seperti pecah. Matanya mulai di gulir ke pipi, leher,
lengan dan telapak tanganku.
“Apa ini? ,” ujung telunjuk kanannya menyentuh pipi kiriku. Penuh bulu.
“Ini namanya nyaru Nak ,” aku tersenyum. Pundakku meninggi. Bulu abu- abu hilang. Berganti kulit sawo matang yang mulai menyelimuti seluruh badanku.
***
Bola mata si gadis di gulir. Lagi. Dilihatnya belasan orang berjubah putih menyebut- nyebut asma Tuhan. Tapi. Mata mereka menatap lekat nisan dan gundukan tanah. Seperti jadi kiblat mereka.
“Apa yang mereka cari? ,” si gadis berbisik.
***
“Masihkah kamu tidak paham nak? ,” sebuah peci hitam menyembul di kepalaku.
Gadis ini menggeleng. Bola matanya kelihatan makin pecah. Digulir bola matanya ke atas kepalaku. Pada peci hitamku.
“Aku ini sudah memijakkan kaki disini jauh sebelum kamu. Puluhan ribu tahun lalu ,” badanku melebar. Pundakku menebal.
***
“Janggi!. Sedang apa kamu?! ,” jongkok kedua kakiku di atas nisan. Kuteriaki sosok kurus berkepala pelontos yang memasukkan banyak sekali kembang dalam tas merah jambu si gadis tanpa membukanya.
Janggi. Satu jarinya didepan bibir. Tanda aku di kehendaki dia buat diam.
***
Sepatu hitam menutup dua kakiku. Hem coklat menutup badanku.
“Ka.. kau.. ,” gadis ini sedikit bergidik. Ya. Cuma sedikit.
***
Kilat tanpa suara datang tiap beberapa detik. Bibir mereka membentuk bulan sabit. Gigi mereka di pajang menampar angin. Tangan mereka memeluk nisan.
“Apa yang mereka cari? ,” bisik si gadis.
***
Wajah salah seorang pahlawan nasional berkelebat dalam batok kepala gadis ini.
“Wajahmu sama seperti Kapten.... ,” gidikan dalam diri gadis ini menghilang pelan- pelan.
Mukaku melebar. Keriput.
***
Dibukanya tas merah jambu itu untuk mengambil sebuah botol. Kaget. Timbunan bunga menyambut telapak tangannya. Segera gadis itu berlari ke sudut kamar mandi. Sepi. Dikeluarkan timbunan bunga itu segenggam- segenggam.
Tersenyum aku. Badanku bening. Merah api. Kulit putih pucat membungkus nyala api di badan dan mukaku. Cekungan berdarah di lubang mata diganti bola bening warna biru.
Kutepuk pundak si gadis. Dia. Kaget.
***
“Ini namanya nyaru , ” muncul tongkat penyangga di tangan kiriku. Punggungku makin tebal. Sedikit bungkuk.
“Kamu bisa berubah jadi siapa saja? ,”
“Ya ,”
“Kamu ada hubungannya dengan kembang- kembang yang ada dalam tas ranselku? ,”
“Tidak. Itu kelakuan temanku, Janggi. Dia sebal karena kamu tidak sama seperti kebanyakan mereka yang datang ke tempat ini ,”
“Ya. Memang ,”
“Janggi mau merapuhkan keyakinanmu soal Tuhan ,”
“Dia temanmu. Kenapa kamu bilang begitu padaku?. Apa kamu berbeda? ,”
Pundak kiri dan kanan kuangkat keatas. Berbarengan.
“Mana aku tahu. Janggi harap kamu jadi percaya bahwa mahluk seperti kami bisa berbuat banyak melebihi Tuhan. Berhati- hatilah ,” aku bangkit dari bangku kayu depan kamar mandi.
Gadis ini. Diam dia. Sampai punggungku hilang di sudut kamar mandi.
Berjalan aku di sangga tongkat. Kurapatkan badanku pada mereka yang memeluk nisan. Muka mereka di sapu kilat tanpa suara tiap beberapa detik.
“Hey! Ada siluet serupa Kapten X di gambar ini! ,” pemuda berkaos merah menarik lengan beberapa temannya.
Dia. Pemuda itu. Menyebut nama penghuni gundukan tanah yang di tancap nisan.
Itu aku. Sungguh. Aku nyaru.
“Kamu ,” suara gadis berambut sebahu menggendong ransel merah jambu menggigiti kupingku.
Digiring aku menepi dari lalu lintas manusia.
“Terimakasih. Kamu berkata jujur dan memperingatkan aku supaya hati- hati dengan sesamamu yang hendak membuat aku merasa ada yang sekuat Tuhan ,”
“Ya. Bukan masalah. Kita sama- sama mahluk Tuhan bukan? ,” tersenyum tipis aku.
“Kamu jujur. Bisa kamu lihat masa depanku? ,”
“Oh. Tentu ,”
Kena kau. Sudah sumpah aku menyesatkan kamu. Sebangsamu. Dengan cara apapun.
TAMAT

Orca



“Pada 04 Oktober 1997 di lepas pantai Antartika pun,……”
          Benda itu tipis. Kecil. Panjang dan tajam. Ditusukkan di punggungku. Aku tidak punya kelopak mata. Tapi semua gelap tanpa mesti aku menutupnya.
          Waktu bangun, tetap semua biru. Air lewat lembut di sela- sela ketiak dan kelopak mataku. Berusaha aku berdiri tegak. Melompat. Naik. Mencari napas.
          Warna biru makin terang. Kuangkat kepala. Aku bertemu napas. Tapi perutku bergemuruh. Makin keras. Bukan gemuruh lapar yang biasa.
          Debur benda berat menggaruki kupingku. Aku menoleh. Melihat darah. Berlari aku. Gigi aku tancap pada benda berat yang mendebur air beberapa detik yang lalu itu. Benda itu lunak. Lapisan- lapisannya berjalan memenuhi rongga mulut, kerongkongan dan perutku.
          “Hei. Kejar! Kejar!. Dia memakannya!. Dia memakannya! ,” rambutnya coklat kemerahan. Dia menutup sepanjang bawah lehernya dengan lembaran yang warnanya mirip batu apung. Putih.
          Aku melirik polos. Benda besar warna putih mengambang di permukaan air. Mendekat cepat tempatku berdiri. Busa menggumpal sekeliling benda putih. Makin banyak langkahnya. Makin banyak busa. Makin dekat dengan tempatku berpijak.
          “Itu dia! ,” kilat tanpa suara menyapu mukaku. Lagi. Dan lagi.
          Kulepas benda empuk yang ada di gigitan. Benda itu menagambang menjauh. Berdarah. Kepala aku masukkan dalam air. Lari aku berlawanan arah dengan benda putih mengambang yang makin dekat dengan aku.
“……..sekelompok pengamat paus merekam kejadian unik dimana paus pembunuh atau Orcinus Orca yang menyerang hiu putih dewasa……..”
          “Aku dapat fotonya!. Dia sudah kabur! ,” si rambut coklat kemerahan bersama benda putih besarnya yang mengambang dan benda lain berbentuk persegi yang mengeluarkan kilat putih tanpa suara tiap menyapu mukaku itu sudah berhenti di tempat.
          Tetap aku lari.
 “……dan kemudian memakan hiu putih tersebut. Pernyataan yang mengatakan bahwa……..”
          Moncongku yang pesek menabrak bekuan es. Dingin. Tapi tidak bikin badanku membeku.
          “Mereka bikin narasi soal kamu ,” warnanya hitam dan putih. Sama seperti aku. Paruhnya hitam. Juga seperti mocongku. Ekor ikan besar meluber dari paruhnya.
          “Narasi? ,”
          “Ya. Itu kata- kata yang isinya soal kamu ,” Dia. Seekor Pinguin.
          “Oh? ,”
          “Benda putih besar yang mengapung itu namanya kapal. Dia bertugas mengejar kamu ,” celoteh pinguin ini tidak terlalu jelas. Mulutnya diganjal ikan. Kulit ikan itu utuh. Tidak ada yang tertelan ke lambung si Pinguin.
          “Bikin narasi soal apa mereka tentang aku? ,”
          “Soal kamu yang makan saudara kami ,” suara besar bikin aku menoleh kebelakang. Si empunya suara seluruh tubuhnya warna putih keabuan. Lebih kecil tubuhnya di banding aku. Runcing giginya lebih dari aku.
          “Kami. Hiu… ,” lanjutnya.
          “Hi… Hiu? ,”
          “Kamu tadi di suntik sesuatu oleh mereka yang punya rambut merah. Setelahnya, apa kamu merasa apa? ,”
          “Lapar. Sangat Lapar ,”
          “Mereka lalu melempar saudara kami di depan mukamu ,”
          “Ti.. tidak.. aku menggigit benda empuk itu tapi dia tidak bergerak sama sekali ,”
          “Benda empuk itulah Hiu. Sudah dibunuh sebelum di leper padamu ,” Pinguin menyahut. Dia tidak memandang aku. Siripnya di gerak menuju permukaan yang lebih terang. Dia. Hilang.
          “Hindari kepala merah- kepala merah itu ,” Hiu membalik badan. Sirip ia gerak menuju dasar yang lebih gelap.
          Cuma narasi.
 “………Hiu merupakan predator yang mengendalikan rantai makanan teratas di laut pun di patahkan oleh peristiwa itu……….”
          “Anna!. Makan siang! ,”
          “Lima menit lagi Bu!. Aku masih menonton acara ini. ‘Predator Paling Ganas Di Dunia’ ,”
          “Wah baiklah. Sup sirip Hiu ini akan Ibu habiskan sendiri. Jangan menyesal Anna ,”
          Aroma amis sirip ikan tertimbun bau bawang memenuhi ruangan.
TAMAT

Tuesday, May 6, 2014

Darah Kyai


“Ka.. kami.. ingin punya keturunan dari darah Kyai,” Bapak terus merangkul dengkul pria empat puluhan yang di panggil- panggil Kyai.
“Ya…… “ Sang Kyai belum usai bicara. Bapak sengaja mengusap- usap mukanya di dengkul Kyai. Dengan rasa geli yang menggaruki dengkul, Kyai memutar mukanya kekanan.
Kearahku.
Mukaku merah. Hangat matanya menerpa muka.
“Esok datanglah lagi bersama Waluya. Kau bakal temukan jawabannya esok ,” Kyai menyelesaikan ucapannya.
Jantungku terasa panas. Detaknya berkejaran.
***
Pagi menggigiti kulitku yang Sembilan belas tahun lalu berwarna kuning langsat. Warna itu. Hilang. Sudah tergerus matahari saban siang di ladang. Dua gelas teh aku hantarkan depan muka Waluya dan suamiku.
Piye Pak? ,” dua tanganku menyeret kursi kayu. Aku duduk diatasnya.
Bibir suamiku meniupi kepulan asap di atas gelas. Matanya dipejam rapat- rapat. Waluya memandang tandas mukaku sekalian muka Bapaknya.
“Kami disuruh balik lagi ke griya  Pak Kyai pagi ini ,” muka Waluya merah.
“Oh. Ya. ,” telunjukku mengetuki meja. Rasanya gatal.
***
Malam. Bapak pulang dibonceng Waluyo. Tubuh tambun Bapak melenggang masuk duluan dalam rumah. Mataku beralih ke balik punggung Bapak. Mana Waluya?
Napas Bapak dihela cepat- cepat. Punggungnya di hempas ke dipan rotan di ruang depan.
Suara rantai sepeda dan roda yang menabrak dinding membuat mataku beralih lagi menjuju pintu. Waluya muncul. Napasnya saling berkejar. Punggung tangan kirinya menyeka aliran keringat di kening yang tak lazim muncul di malam dingin.
Hangat dua bola mataku menyambut Waluya. Dia sama. Kami seperti berangkulan dari tatap mata saja.
Piye Pak? ,” Emak ada di sebelahku. Ia meremas pahaku. Mataku teralih kearah Bapak. Waluya membuka kelambu hijau kamar di samping ruang depan. Ia masuk. Kelambu itu di tutupnya lagi.
“Besok saja kita bahas. Besok pagi. Bapak janji. Bapak lelah. Sungguh ,” Bapak memelorotkan punggungnya.
Napas aku tarik dan aku lepas cepat- cepat. Tiga kali.
***
“Saya ini dulunya orang neko- neko Pak ,” Kyai mulai memotong percakapan basa- basi bikinan Bapak.
“Tapi sungguh Pak Kyai. Ingin sekali saya punya keturunan dari darah Pak Kyai. Biar terjunjung derajat keluarga kami ,” Bapak mulai mendekat. Hendak merangkul dengkul Kyai.
Telapak tangan Kyai di tampakkan kedepan. Tanda ia tidak berkenan dengan laku yang hendak Bapak bikin. Bapak mundur dengan muka tertunduk dalam.
“Saya ini. Jadi begini karena hidayah Pak ,” Kyai memandang aku. Mukaku merah.
Selalu. Lagi. Entah..
“Dan. Hidayah tidak dapat diturunkan pada keturunan. Hidayah asalnya dari Tuhan. Itu juga kalau manusianya punya mau. Bapak berharap keturunan baik, tapi bagaimana kalau..  ,” Kyai mengalihkan pandangannya ke kepala Bapak yang tertunduk.
Seperti ada cambuk panjang yang biasa di pakai dalam pertunjukan kuda lumping di Balai Desa yang membelit jantungku. Panas. Sakit. Berkedut. Usai Kyai menyelesaikan kalimatnya.
Bapak cuma diam. Bukan tidak punya kata. Bukan juga karena kupingnya tidak dengar ucapan terakhir Kyai. Tapi. Dia tidak mengerti seluruh ucapan Kyai barusan.
Kyai- keturunan- derajat. Cuma itu yang ada dalam kepala Bapak.
“Saya juga tidak bakal lama disini. Saya mesti kembali pada anak dan istri di seberang pulau ,” Kyai berucap hati- hati. Kaku. Seperti takut salah ucap.
Aku tidak punya hak bicara. Cuma kakiku yang punya hak mengayuh sepeda. Membonceng Bapak sampai ada di bawah atap rumah berdinding separuh tembok dan separuh bambu ini.
“Bukan masalah Pak Kyai. Saya cuma ingin keturunan dari darah Kyai. Cuma itu ,” kepala Bapak ditundukkan makin dalam. Suaranya polos. Mantap.
Kulit kuning langsat. Mata bening. Perut datar. Bibir tipis Dewi. Kakakku. Berlarian depan mata Kyai. Sekali dia lihat Dewi dengan tudung hijau di kepalanya. Ingin tahu ia. Warna apa di balik tudung itu.
“Waluya ,” panggil Kyai. Kali ini benar tertuju padaku.
Nggeh.. ,” kepala yang dari tadi hampir mendongak mendengar ucap polos tapi mantap dari Bapak tiba- tiba melesak tertunduk. Mukaku merah. Mata hangat Kyai menerpa lagi muka merahku.
“Ajak Bapak sampeyan menemui Ponari. Ponari itu muridku. Dia berdiri di luar pintu ini. Atur segalanya dengan dia ,”
Buru- buru aku mengangguk sopan. Aku menarik lengan Bapak yang masih tidak paham dengan ucapan terakhir Kyai.
“Semua keinginan Bapak terwujud ,” bisikku ketika bantu Bapak berdiri. Mata Bapak berbinar. Kantung matanya berair.
Bersama Bapak aku keluar ruangan. Di depan sudah ada Ponari. Dia pakai baju putih. Kepalanya pelontos. Menutupi sepanjang kakinya, sarung warna biru tua yang sudah hilang motifnya di telan banting tulang di ladang saban hari seperti menyapu lantai saking lamanya ia duduk.
Muka Ponari lega menyambut kami.
“Tidak.. tidak usah menjelaskan. Saya sudah tahu. Besok kembalilah kemari. Langsung ke pelataran bilik tempat saya tidur ,” Ponari menunjuk sebuah bilik bambu di seberang ubin tempatku dan Bapak berdiri saat ini. Ia buru- buru bicara waktu melihat bibirku hendak membuka waktu pertama keluar dari ruangan.
***
Kyai itu. Matanya teduh. Ia tidur di sebelah badanku. Ia tidak berucap apa- apa sejak belasan orang berteriak “Sah!,” di susul hamdalah.
Mata kupejam rapat- rapat. Dia tetap tidak bicara. Sampai aku benar- benar tidur. Ia hilang dari samping badanku.
Sebulan. Perutku mulai membuncit. Makin buncit. Dia tidak kembali. Tinggallah sekotak uang, sekotak emas dan seperangkat pakaian sholat tersimpan tidak beraturan di bawah dipan.
Lahir Dewi. Kulitnya kuning langsat seperti aku. Pintar mengaji persis Bapaknya.
***
“Siapa mereka Ponari? ,” aku melirik halus kearah kanan tanpa memutar kepala.
“Mereka punya mau serupa dengan Bapakmu ,” Ponari menyilangkan kaki di atas dipan bambu di pelataran bilik tempat ia tidur.
“Akankah diwujudkan oleh Kyai? ,”
“Mana aku tahu?. Anak gadis mereka serupa kakakmu. Berkulit kuning langsat. Memakai tudung. Pemalu. Pandai pula mengaji ,”
“Apa tidak sakit bila ternyata inginnya Bapakku dan inginnya Bapak gadis itu diwujudkan keduanya oleh Kyai? ,”
“Mana aku tahu?. Sakit bagi siapa?. Bukankah bangga bisa punya darah Kyai?.
Pandai anak keturunannya mengaji ,” Ponari berkata polos tapi mantap. Persis ucapan Bapakku biasanya.
“Kasih sayang yang di bagi. Apa itu tidak sakit Ponari?. Kasih orang tua yang di bagi saja sebegitu sakitnya, apalagi.. kasih pendampingmu kelak ,” Ponari menanggapi ucapanku dengan mengetukkan jari telunjuknya di dipan bambu. Serupa nada. Nada tak sabar menyelesaikan obrolan yang tidak ia mengerti bakal digulir kemana.
“Rupa kakakku memukau. Serupa Ibuku. Ia pandai mengaji serupa Bapaknya. Rupaku buruk serupa Bapakku. Aku tak pandai mengaji juga serupa dia. Mata bening Ibu yang masih beruntung tertinggal di mukaku. Aku dapat kasih yang terbelah. Mereka bangga akan kakakku. Dewi. Tapi tidak dengan aku ,” aku melanjutkan ucapanku. Ketukan jari Ponari makin memburu.
“Kau kesini buat mewakili Bapakmu menentukan tanggal bukan? ,”
“Kasih orang tua yang terbelah saja sebegitu sakitnya. Bagaimana dengan kasih pendampingmu kelak? ,” aku melanjutkan ucapan. Kalimat Ponari sebelumnya, nyaris tak terdengar olehku.
“Kau cuma ingin tau. Apa Bapak yang baru masuk ruangan Kyai tadi di kabulkan keinginannya atau tidak bukan? ,”
“Ya…… ,” sungguh ucapanku belum selesai.
“Tunggu dua jam lagi. Disini. Aku hendak pergi ke ladang ,” Ponari turun dari dipan. Dia menjinjing arit.
***
Buruk rupa pemuda itu. Berbinar muka dia lihat kulit kuning langsatku. Hampir tidak kelihatan oleh matanya dua lenganku memeluk bayi.
“Rokim. Ini Dian dan putrinya, Dewi ,” Emakku berujar. Datar.
Mata Rokim mengikuti tiap gerakku. Seluruh tubuhku dia jelajah dengan matanya.
Roman mata Rokim tertangkap Bapaknya.
“Kapan tanggalnya? ,” Bapak Rokim memandang lekat Bapak dan Emakku.
Rokim berbinar.
***
“Kembalillah besok pagi. Temui Ponari. Dia muridku. Dia tinggal di bilik seberang tempat ini ,”
Bapak itu mengangguk sopan. Matanya berbinar. Kakinya yang pincang di seret keluar ruangan.
Gadis itu serupa Dewi kata Ponari. Tapi, tudungnya kuning. Kyai penasaran warna apa di balik tudung kuning itu.
***
“Aku cuma melihat Bapak itu keluar ruangan. Tanpa tahu apa inginnya tidak terkabul? ,” kata tidak terkabul aku tekan.
“Terkabul. Sekembalinya dari ladang aku merapat ke pintu sebelum menemuimu disini. Aku dengar ,”
“Bisakah aku kembali kesini besok?. Ingin aku bicara dulu dengan Bapakku soal ini ,”
“Yang memutuskan perkara bukan kau Waluya. Bukan pula Dewi. Tapi Emak dan Bapakmu ,”
Aku menunduk. Kureka tanggal yang tepat.
***
Suara rantai sepeda yang berputar. Roda menabrak dinding bambu. Ekor mataku menangkap Waluya menyeret kaki ke dalam rumah. Kantung mata adikku itu di genangi air.
Kaki Waluya langsung menuju dapur. Tidak dipeluknya aku dengan pandangannya seperti biasa.
“Alhamdulillah!. Tanggal 18 ,” jerit Emak dari arah dapur.
“Apa?!. Anak Pak Resik agaknya tanggal 20? ,” Emak menjerit lagi.
“Bukan masalah! ,” ucapan terakhir Emak bersahutan dengan langkah kaki Waluya menuju tempatku duduk.
Makin banyak genangan air di kantung matanya. Waluya. Dia terisak. Tertahan. Kepalanya bersimpuh di dengkulku.
          “Tidak akan ada apa- apa. Mbakmu ini tidak akan sakit ,” kuelus kepala Waluya. Pecut kuda lumping yang biasa bermain di Balai Desa seperti membelit jantungku. Perih. Panas.
          Waluya makin membenamkan mukanya di antara dua dengkulku. Kusentuh pundaknya. Kurus. Serupa Bapakku. Kuangkat mukanya. Hitam. Serupa Bapakku. Kuseka matanya. Bening. Serupa Ibuku. Aku memeluk Waluya sekuatnya dua tanganku.
Tidak. Aku tidak terisak.
***
          “Sah! ,” jerit belasan orang disusul hamdalah. Raut mata bangga memenuhi seluruh langgar. Aku juga.
          Tangan kananku menggamit lengan kiri Dewi dari dalam ruangan yang biasa dipergunakan menyimpan sapu ijuk di langgar. Ruangan itu. Di sulap jadi ruang rias.
          Dewi aku dudukkan di samping Kyai. Kupasang selendang di atas kepala mereka berdua. Muka Dewi datar.
          Mataku berkeliling. Kulihat mata suamiku. Berbinar. Waluya ada di sebelah kirinya. Muka dia serupa Dewi.
Mana aku perduli.
***
          Di kali. Waluya tertawa terkikik bersama seorang gadis. Kulitnya serupa Waluya. Wajahnya seburuk Waluya. Matanya tulus. Serupa Waluya. Dua giginya maju kedepan. Bukan serupa gigi Waluya yang rapi persis gigiku. Aku tersenyum.
          “Waluya!. Kumpulkan modal. Lamar gadis itu. Nanti Mbak bantu bicara pada Emak ,” dua tanganku berhenti menggilas baju di atas batu.
          “I.. Iya ,” Waluya gugup. Baru tahu ia bahwa aku sudah disitu cukup lama. Melihat dia.
Bahagia.
***
          Seminggu tiga kali. Kyai. Suamiku. Datang kerumah berdinding bambu ini. Di hari lain, dia pergi kerumah Rahmawati. Anak Pak Resik.
Dan hari lain itu adalah hari ini. Hari ini, Waluya pergi ke kota. Menumpang pick up carik lurah.
          “Baik- baiklah ,” Waluya mencium perutku yang mulai buncit.
          Kaki adikku itu melompat masuk badan belakang pick up. Dia melambai. Ceria. Menghilang di jalan menurun.
          “Carilah modal di kota ,” bisikku tanpa mungkin Waluya mendengar.
***
          Makin membuncit. Suamiku tidak pernah lagi datang. Ponari bilang, gurunya itu kembali pada keluarganya.
          Aliman lahir. Dia anakku.
***
          Mukaku pucat. Beruntung bertemu mantan carik lurah di terminal. Aku di angkut pick upnya bersama bumbu- bumbu dapur. Dudukanku di samping bangku supir.
          “Duh Gusti!. Untung tidak banyak saya simpan uang di kantung itu Pak! ,” napasku berkejaran.
          “Sudahlah. Bisa di urus nanti. Memangnya, seperti apa orang yang mengambil kantung uangmu itu Waluya? ,”
“Anak kecil. Usianya kira- kira enam atau tujuh tahun. Kulitnya kuning, matanya bening ,”
Napas mantan carik lurah seperti berhenti tiga detik.
“Kenapa Pak? ,”
“Tidak. Tidak. Beristirahatlah Waluya. Tiga puluh menit lagi kita sampai ,” urat leher lawan bicaraku ini nampak menonjol.
***
“Alimaaaaaan! ,” jerit Emak sejadi- jadinya. Kuali, piring, gelas dan segala yang ada di dekatnya di lempar pada anakku.
Anak itu tidak menangis. Mukanya datar.
“Kantung siapa itu?. Uang siapa itu ,” Emak menjerit. Lagi.
Aku tengkurap di atas kasur. Mukaku menekan bantal. Bantal benar- benar basah.
Sakit.
***
“Rahmawati! ,” teriakku pada seorang wanita yang tengah menggandeng anak usia tujuh tahun di genggamannya.
“Waluya! ,”
Mantan carik membuat laju pick upnya lebih lambat.
“Dari mana kau? ,” laju pick up sama lambannya dengan langkah Rahmawati berikut anak laki- laki yang ia gandeng.
“Ini ,” Rahmawati menunjukkan sebuah piala.
“Putramu? ,”
“Ya. Dari mengaji ,”
“Wah selamat ya nak ,” aku memandang muka anak Rahmawati. Dia balas senyum. Sapuan matanya bikin mukaku merah. Hangat. Persis Kyai. Bapaknya.
***
Berlari kecil aku menghampiri sosok kurus itu. Dia. Waluya. Pandangan kami saling rangkul seperti biasa. Tangan aku lambai. Dia mendekat ke pelataran.
“Alimaaaaaaaan ,” Emak menjerit.
Putraku menerobos belakang punggungku. Dia lari. Membawa kantung uang. Waluya di tabraknya hingga nyaris oleng. Anak itu menghilang di jalan turunan. Matanya seperti singa lapar.
“Anak itu.. ,” Waluya berbisik.
Ingat dia apa kata Kyai.
“Saya ini dulunya orang neko- neko Pak ,”
“Saya ini. Jadi begini karena hidayah Pak ,”
“Dan. Hidayah tidak dapat diturunkan pada keturunan. Hidayah asalnya dari Tuhan. Itu juga kalau manusianya punya mau. Bapak berharap keturunan baik, tapi bagaimana kalau.. ,”
***
Kenapa Embah selalu marah pada Aliman?. Aliman tidak pernah ingat kapan pernah
minta ingin lahir. Kenapa Emak selalu menangis tiap Embah marah?. Kenapa Embah sebut- sebut anak orang yang namanya Rahmawati itu hebat?. Anak itu sama dengan Aliman. Pandai mengaji. Apa piala yang Aliman punya kurang?. Oh?

TAMAT