Monday, June 29, 2015

Penelantaran Anak Dalam Keluarga Tenaga Kerja Wanita (TKW)

Dimuat dan dapat juga di donwload secara lengkap di http://imadiklus.com/penelantaran-anak-dalam-keluarga-tenaga-kerja-wanita-tkw/ 

KARYA TULIS ILMIAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH

Problematika Pendidikan Luar Sekolah
Yang dibina oleh Bapak Dr. H. Muhadjir Effendy, M.Ap


Dibuat Oleh:
Poppy Trisnayanti P                                        120141400970






UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
JURUSAN PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH
November 2014


BAB I
Pendahuluan
A.    Latar Belakang
Sepanjang 2013, jumlah buruh migran asal Jawa Timur yang berangkat ke luar negeri tercatat 52.571 orang. Terjadi penurunan sekitar delapan persen dari penempatan di sepanjang 2012 yang sebanyak 68.003 orang.[1]
Istilah “tenaga kerja” baru di perkenalkan secara resmi pada tahun 1966. Waktu itu dibentuk Kabinet Ampera dan Departemen Perburuhan diganti namanya menjadi Departemen Tenaga Kerja. Menurut Undang- undang No. 14 tahun 1969 Bab I ayat 1 tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja disebutkan bahwa:
“Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang atau jasa terutama untuk memenuhi kebutuhannya sendiri atau masyarakat.”
Sedangkan pekerja adalah “Setiap orang yang bekerja atau menerima upah atau imbalan lain.”
Tenaga kerja adalah “Golongan atau bagian penduduk yang berumur antara 10- 56 tahun.” Tegasnya adalah semua orang atau penduduk yang berumur 10- 56 dan mampu melakukan pekerjaan guna mendapatkan penghasilan termasuk Tenaga Kerja Wanita yang sering disebut TKW.[2]
Motif keberangkatan buruh migran keluar negeri/ Tenaga Kerja Wanita (TKW) sebagian   besar adalah pemenuhan ekonomi. Munculnya pemikiran untuk bekerja diluar negeri juga karena ketidakberdayaan atau kebuntuan usaha dalam mencari pemenuhan ekonomi di dalam negeri.
Memang TKW (Tenaga Kerja Wanita) adalah profesi yang diminati oleh banyak orang di Indonesia. Pilihan untuk bekerja di luar nege        ri adalah keputusan yang cukup berani, mengingat fenomena kekerasan yang sering dilakukan oleh para majikan kepada TKW (Tenaga Kerja Wanita). Kasus tindak kekerasan sampai tahun 2011 ini saja, banyak yang belum bisa diungkap dan ditindak lanjuti dengan serius oleh pemerintah Indonesia. Tetapi hal tersebut tidak menyurutkan minat orang Indonesia untuk bekerja di negeri orang. Kebanyakan dari para tenaga kerja tersebut adalah kaum perempuan yang seharusnya lebih berorientasi kepada rumah tangga untuk lebih berperan mengurusi bagian internal keluarganya. Tetapi, karena alasan kebutuhan ekonomi, para ibu rumah tangga ini nekad memutuskan untuk bekerja dengan marantau ke negeri orang dengan bekal tekat untuk merubah nasib dan kehidupannya dan keluarga.[3]
Pemenuhan ekonomi keluarga itulah yang menjadikan seorang wanita nekad pergi keluar negeri. Meninggalkan keluarga pun seperti menjadi resiko lazim bagi seorang TKW.
Keluarga menurut Ki Hadjar Dewantara dalam Soeratman (1997) adalah kumpulan beberapa yang karena terikat oleh satu turunan atau perkawinan lalu mengerti dan merasa berdiri sebagai suatu gabungan yang memiliki hak dan berkehendak bersama- sama memperteguh gabungan itu untuk kemuliaan semua anggotanya. Batasan di atas mencerminkan bahwa keluarga secara hakiki memiliki keistimewaan karena dipimpin oleh kepala keluarga, biasanya seorang Ayah atau seorang Ibu dalam keluarga tunggal (single parent) berdasarkan norma yang berlaku dalam masyarakat dimana yang bersangkutan bertempat tinggal. Dengan demikian patutlah dikatakan bahwa keluarga adalah tempat terindah, surga (dalam ajaran Islam) terindah di dunia, agen dalam proses sosial dan media komunikasi warganya.[4]
Banyak sekali kajian yang membahas Tenaga Kerja Wanita. Akan tetapi dari sekian banyak kajian tersebut, sebagian besar pastilah membahas mengenai eksploitasi TKW itu sendiri diluar negeri apalagi banyak dari mereka yang pergi bekerja sendirian tanpa suami atau keluarga. Padahal, keluarga yang ditinggalkan Tenaga Kerja Wanita pun tidak luput dari permasalah. Utamanya pada anak- anak Tenaga Kerja Wanita yang tentu saja belum bisa melindungi dan memenuhi kebutuhan dirinya sendiri.
Ketika memutuskan untuk bekerja dan menjadi TKW mereka tidak pernah berpikir jauh tentang resiko apa yang akan didapatkan selama bekerja dan sesudah bekerja bagi diri dan keluarga. Yang ada di pikiran mereka hanya bagaimana mendapatkan uang yang banyak untuk perbaikan ekonomi (memutuskan rantai kemiskinan).[5]
Kepergian ibu dalam sebuah keluarga sebagai Tenaga Kerja Wanita mengakibatkan anak- anak harus di asuh oleh ayah mereka sebagai orang tua tunggal. Ayah muncul sebagai pemangku tanggung jawab yang kemudian berperan ganda setelah kepergian ibu, karena ayah merupakan alternatif pertama dan paling dekat dengan keseharian anak- anak di dalam keluarga inti. Anak- anak yang dimaksudkan adalah anak- anak dengan usia yang belum dewasa. Seorang anak yang belum dewasa belum mampu memenuhi kebutuhan ekonomi dan perlindungan dirinya. Mereka masih sangat membutuhkan figur orang dewasa untuk mengarahkan kehidupan mereka sehari- hari.
Dalam Undang- Undang Perkawinan no. 01 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 47 ayat (1), anak didefinisikan sebagai berikut:
“Anak yang belum mencapai umur 18 tahun (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaanya.”[6]
            Sayangnya, banyak ayah yang tidak sanggup mengelola sendiri berbagai kebutuhan dan perlindungan anak- anak tanpa kehadiran ibu. Ketidaksanggupan ini berupa ketidaksanggupan pengasuhan dan pengelolaan dana. Ketidaksanggupan pengasuhan apabila berasal dari ayah mengakibatkan munculnya peran pengganti orang tua bagi anak seperti nenek, bibi, kerabat bahkan hingga anak jatuh di tangan keluarga lain.
Disamping ketidaksanggupan pengasuhan yang seringkali menimpa anak- anak yang ditinggal ibunya bekerja sebagai Tenaga Kerja Wanita, penyalahgunaan dana yang dikirim dari gaji hasil bekerja ibu juga sering terjadi. Penyalahgunaan ini bahkan terjadi di tangan ayah atau kerabat sebagai alternatif pengasuh anak. Penyalahgunaan yang dimaksud ialah ketika gaji ibu yang dikirim dari hasil bekerja sebagai Tenaga Kerja Wanita dipergunakan bukan untuk utamanya pendidikan dan kesehatan anak. Dana tersebut digunakan diluar kepentingan anak bahkan hingga kepentingan anak tidak terpenuhi. Tidak terpenuhinya kebutuhan finansial anak merupakan bentuk penelantaran apalagi sampai membuat anak tersebut kesulitan dalam mengahadapi kehidupan yang berkelanjutan.
Seperti telah dijelaskan dalam perundangan di atas, hak orang tua atau wali atas pengasuhan anak sebenarnya bisa dicabut. Syarat pencabutan tersebut ketika orang tua atau wali yang mengasuh menelantarkan hak- hak yang mestinya di dapat oleh anak. Sayangnya, perlindungan terhadap anak melalui perundangan yang sudah jelas isinya seperti tersebut di atas belum bisa nyata di tegakkan.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang melatarbelakangi seorang perempuan bekerja sebagai  Tenaga Kerja Wanita (TKW)?
2.      Bagaimana munculnya orang tua tunggal dan orang tua asuh dalam Keluarga Tenaga Kerja Wanita (TKW)?
3.      Bagaimana permasalahan pengasuhan anak dalam keluarga Keluarga Tenaga Kerja Wanita (TKW)?
C.     Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui hal apa yang melatarbelakangi seorang perempuan bekerja sebagai  Tenaga Kerja Wanita (TKW).
2.      Mengetahui bagaimana munculnya orang tua tunggal dan orang tua asuh dalam Keluarga Tenaga Kerja Wanita (TKW).
3.      Mengetahui permasalahan pengasuhan anak dalam keluarga Keluarga Tenaga Kerja Wanita (TKW).


BAB II
Pembahasan
A.    Latar Belakang Seorang Perempuan Bekerja Sebagai  Tenaga Kerja Wanita (TKW)
Ketidakmampuan kepala keluarga dalam memenuhi kebutuhan ekonomi membuat dorongan besar bagi seorang istri sekaligus ibu di dalam keluarga untuk turut membantu pemenuhan kebutuhan ekonomi. Sayangnya, seringkali istri sekaligus ibu di dalam keluarga memiliki pendidikan dan ketrampilan yang rendah sehingga sulit mendapat pekerjaan layak yang sanggup menyambung kebutuhan ekonomi keluarga. Perempuan pun pergi keluarga negeri demi memenuhi kebutuhan ekonomi dengan menjadi TKW. Pergi keluar negeri sebagai tenaga kasar di pabrik bahkan sebagai pembantu rumah tangga pada kenyataannya memang tidak menuntut pendidikan dan ketrampilan yang tinggi sehingga di anggap sebagai jalan pintas yang paling mudah bagi para ibu tersebut demi membantu pemenuhan ekonomi keluarga.
Melihat pada kenyataan yang ada bahwa kepergian perempuan-perempuan (terutama perempuan pedesaan) sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW) ke luar negeri adalah tidak terlepas dari banyaknya persoalan yang ada dan tidak teratasi di dalam negeri, terutama persoalan lapangan pekerjaan bagi kaum miskin (terutama perempuan yang berpendidikan dan berketrampilan rendah). Rakyat miskin selalu dihadapkan pada persoalan kesulitan ekonomi, rakyat miskin ingin bekerja layak dan mendapatkan pekerjaan yang layak, tetapi karena skill yang rendah semua keinginan rakyat miskin tidak terealisasi. Dengan ketrampilan yang rendah, memang alternatif pekerjaan yang mudah dijalani adalah sebagai pembantu Rumah Tangga (PRT). Keinginan dan keputusan para perempuan menjadi TKW di luar negeri adalah merupakan langkah yang bagi TKW adalah sangat tepat untuk diambil, karena bekerja di luar negeri memberikan jaminan gaji yang berkali kali lipat besarnya daripada bekerja di negeri sendiri. Padahal dengan memutuskan bekerja di luar negeri, banyak sekali resiko-resiko yang harus ditanggung. Perempuan, terutama yang sudah berkeluarga, akan menghadapi resiko yang lebih besar daripada yang belum berkeluarga. Para ibu/istri yang berangkat ke luar negeri sebagai TKW dengan meninggalkan keluarganya (suami dan anak) akan menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan/pergeseran- pergeseran dalam keluarganya.[7]
Kebutuhan ekonomi yang tidak terpenuhi mengakibatkan sebuah keluarga bisa juga disebut sebagai keluarga pra sejahtera. Pengukuran model BKKBN melahirkan klasifikasi keluarga yang terdiri dari keluarga Pra Sejahtera, Keluarga Sejahtera I, Keluarga Sejahtera II, dan Keluarga Sejahtera III Plus.
Keluarga Pra Sejahtera: jika tidak memenuhi satu sayarat sebagai Keluarga Sejahtera I.
Keluarga Sejahtera I: dapat memenuhi kebutuhan dasarnya (basic needs) secara minimal, yaitu:
1.      Melaksanakan ibadah menurut agama oleh masing- masing anggota keluarga.
2.      Pada umumnya seluruh anggota keluarga makan dua kali atau lebih.
3.      Seluruh anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk di rumah, bekerja/ bersekolah dan berpergian.
4.      Bagian terluas dari rumah bukan lantai tanah.
5.      Bila anak sakit dan atau pasangan usia subur ingin ber-KB dibawa ke sarana kesehatan.[8]
Terkait kebutuhan ekonomi yang tidak terpenuhi, sebuah keluarga pra sejahtera tidak bisa memenuhi kebutuhan sandang dan pangannya. Tidak terpenuhinya kebutuhan sandang dan pangan tercermin dalam pengukuran keluarga pra sejahtera model BKKBN poin kedua, ketiga dan kelima. Dimana di dalamnya termasuk tidak terpenuhinya kesehatan. Jadi, latar belakang keluarga dimana seorang wanita memutuskan untuk bekerja sebagai Tenaga Kerja Wanita keluar negeri sebagian besar adalah keluarga pra sejahtera.
B.     Munculnya Orang Tua Tunggal Dan Orang Tua Asuh Dalam Keluarga Tenaga kerja Wanita (TKW)
Keberangkatan Tenaga Kerja Wanita keluar negeri sepintas memang seperti sebuah jalan keluar akan permasalahan ekonomi yang dialamai oleh keluarganya. Pada kenyataannya, kepergian TKW keluar negeri dengan meninggalkan keluarganya terutama anak ternyata meninggalkan berbagai masalah. Masalah tersebut sebagaian besar terkait pengasuhan anak dan gaji hasil kerja yang dikirimkan semestinya dikelola siapa dan bagaimana pelaksanaan pengelolaanya.
Migrasi yang dilakukan oleh perempuan menyangkut beberapa persoalan dan konsekuensi yang harus mereka tanggung. Bagi yang belum berkeluarga akan terjadi perubahan dan pergeseran status dan peran, dari sebelumnya ikut orang tua dengan aneka macam peraturan yang harus dipatuhi, dan dalam posisi selalu tergantung kepada orang tua, kemudian berubah menjadi perempuan yang mandiri yang tidak tergantung, kepada orang tua. Bagi yang sudah berkeluarga, akan menimbulkan pergeseran- pergeseran dalam kehidupan rumah tangga mereka, baik dalam hal pola hidup, pola kerja, maupun dalam peran yang selama ini mereka jalani sebagai seorang istri dan ibu. Oleh karenanya dengan perginya perempuan bermigrasi ke luar negeri untuk bekerja memunculkan eksistensi perempuan dalam hubungannya dengan orang tua/ keluarga, hubungannya dengan suami, dan hubungannya dengan anaknya, serta dengan masyarakat.[9]
Lebih jelas lagi, resiko terbesar bagi wanita tersebut adalah meninggalkan anak- anak  yang harus ditinggalkan bersama ayah mereka sebagai alternatif pengasuhan pertama. Dengan demikian, ayah menjadi orang tua tunggal.
Dimaksudkan dengan orang tua tunggal (dalam konsep Barat disebut “single parent”) dalam bahasan ini ialah orang tua dalam satu keluarga yang tinggal sendiri yaitu ayah saja atau ibu saja. Orang tua tunggal dapat terjadi karena perceraian, atau karena salah satu meninggalkan keluarga, atau siapa saja baik muda maupun tua dalam kondisi ayah meninggal dunia, sehingga ibu menyendiri bersama seluruh anggota keluarganya, atau ibu meninggal dunia sehingga ayah menyendiri bersama dengan keluarganya.
Orang tua tunggal dihadapkan kepada kenyataan dan tantangan untuk melakukan berbagai tugas dan fungsi keluarga sendirian. Keluarga dengan orang tua tunggal mempunyai situasi dan kondisi khas yang mungkin berbeda dengan keadaan keluarga utuh. Situasi itu akan membawa berbagai kemungkinan munculnya berbagai masalah, termasuk masalah- masalah psikologis. Dalam keluarga tunggal ayah atau ibu harus melaksanakan dua fungsi sekaligus yaitu fungsi ayah atau fungsi ibu. Fungsi- fungsi keluarga seperti fungsi ekonomi, fungsi pendidikan, fungsi sosial, fungsi budaya dan sebagainya harus dipikul sendirian.[10]
Ayah dalam keluarga Tenaga Kerja Wanita harus juga berperan ganda untuk menggantikan posisi ibu yang hilang. Keadaan tersebut merupakan satu hal yang tidak lazim dilakukan sehari- hari oleh ayah sehingga di dalam keluarga muncul sebuah kekosongan atas ketidak hadiran ibu bagaimanapun ayah mencoba berperan ganda. Kekosongan ini dapat menimbulkan kekagetan dan masalah- masalah psikologis lainnya baik pada diri ayah maupun diri anak- anak yang ditinggalkan. Ketidakhadiran ibu sehingga ayah mesti melakukan peran ganda membuat ayah bisa dikatakan sebagai orang tua tunggal.
Kekosongan dalam keluarga bisa berdampak perasaan tidak mampu dalam diri ayah untuk mengasuh anak- anak di dalam keluarga. Perasaan tidak mampu tersebut bisa juga benar- benar terwujud dalam pengasuhan. Anak- anak akhirnya harus di alihkan pengasuhannya kepada kerabat terdekat ketika pengasuhan benar- benar tidak mampu dilakukan oleh ayah.
Bukan cuma terkait masalah pengasuhan, pengelolaan dana hasil kerja ibu sebagai Tenaga Kerja Wanita juga bisa menjadi sumber kekagetan pada diri ayah sebagi pemangku tanggung jawab. Dana yang cukup besar bisa dipergunakan untuk segala keperluan diluar hak- hak anak. Hak- hak anak yang tidak terpenuhi akan menimbulkan kesadaran kerabat terdekat untuk mengambil alih pengasuhan anak.
Sayangnya, banyak ketidakjelasan siapa yang berhak mengelola dana hasil kerja ibu dan untuk apa dipergunakan dana tersebut. Pengasuhan dan pengelolaan dana tidak memiliki landasan yang kuat sehingga ayah, kerabat maupun orang lain yang telah diberi kuasa menerima dana hasil bekerja akan tetap dapat menyalahgunakan dana tersebut. Meskipun dalam perundangan telah disebutkan bahwa seorang anak berada dalam perlindungan orang tua atau wali dan apabila perlindungan yang berarti terkait pengasuhan dan pemenuhan ekonomi tersebut tidak dipenuhi orang tua atau wali, sebenarnya hak atas pengasuhan anak bisa di cabut dari orang tua atau wali.
Meskipun anak- anak telah berada di tangan yang tepat dalam pengasuhannya sekalipun itu diluar lingkup ayah atau bahkan kerabat, hak- hak finansialnya bisa saja tidak terpenuhi karena gaji ibu yang seharusnya dipergunakan untuk memenuhi hal tersebut bisa jadi tidak dikendalikan atau dikuasai juga oleh pihak yang bersedia mengasuh mereka dengan baik. Masalah akan berlanjut lebih jauh apabila ternyata pihak tersebut juga sama- sama memiliki keterbatasan di sisi ekonomi. Keberadaan anak tambahan yang mesti di asuh pun menjadi beban bagi keluarga yang bersedia mengasuh.
Pihak- pihak yang dirasa mampu atau mau bertanggung jawab atas pengasuhan anak disebut sebagai orang tua asuh meskipun pihak tersebut berasal dari kerabat anak tersebut sendiri.
Keberadaan orang tua asuh muncul karena kepedulian dengan sesama dalam membantu anak yang sangat kekurangan. Kekurangan bisa di artikan pula sebagai ketidakmampuan pihak sebelumnya untuk mengasuh anak dan juga pemenuhan hak- hak finansial anak.
Orang dewasa yang menjadi orangtua asuh memberikan beberapa alasan: (1) untuk memiliki anak (2) menjadi orang yang perduli dengan sesama (altruis), dan (3) membantu anak yang sangat kekurangan.[11]
C.    Permasalahan Pengasuhan Anak Dalam Keluarga Keluarga Tenaga Kerja Wanita (TKW)
Sebagian besar keluarga yang terbentuk di Indonesia menekankan pembagian peran antara pria dan wanita yang sangat terang perbedaannya. Hal ini juga terjadi di dalam keluarga Tenaga Kerja Wanita. Perempuan yang perannya biasa di bebankan seputar pekerjaan rumah, mengelola keuangan dan pengasuhan anak akhirnya harus pergi bekerja keluar negeri dengan meninggalkan pekerjaan rumah yang biasa dilakukan dan juga anak- anak. Sedangkan suami sebagai keluarga inti terdekat setelah istri yang biasa dibebani pekerjaan terkait menopang ekonomi harus menjadi pengganti istri dalam pekerjaan rumah, mengelola keuangan dan pengasuhan. Hal ini akan menimbulkan kekosongan dan kebingungan bagi anak- anak dalam keluarga maupun ayah yang harus melaksanakan peran ganda. Peran ganda pun sebagian besar tidak terlalu bisa dilaksanakan dengan baik. Peran ayah maupun ibu dalam keluarga akhirnya menjadi rumpang.
Peran mengelola keuangan adalah salah satu peran yang kemungkinan besar sulit dijalankan oleh ayah karena dahulunya di anggap bukan sebagai peran atas dirinya di dalam keluarga. Mengelola keuangan terkait dengan hasil kerja yang sudah biasa di dapat dari profesi ayah dan juga hasil kerja ibu sebagai Tenaga Kerja Wanita di luar negeri apabila memang di percayakan kepada suami untuk kepentingan keluarga terutama anak.
Aplikasi Struktural Fungsional dalam Keluarga berkaitan dengan pola kedudukan dan peran dari anggota keluarga tersebut, hubungan antara orangtua dan anak, ayah dan ibu, ibu dan anak perempuannya, dll. Terdapat 2 (dua) Bentuk keluarga yaitu: (1) Keluarga Inti (nuclear family), dan (2) Keluarga Luas (extended family). [12]
Persyaratan struktural yang harus dipenuhi oleh keluarga agar dapat berfungsi, yaitu meliputi: (1) Diferensiasi peran yaitu alokasi peran/ tugas dan aktivitas yang harus dilakukan dalam keluarga, (2) Alokasi solidaritas yang menyangkut distribusi relasi antar anggota keluarga, (3) Alokasi ekonomi yang menyangkut distribusi barang dan jasa antar anggota keluarga untuk mencapai tujuan keluarga, (4) Alokasi politik yang menyangkut distribusi kekuasaan dalam keluarga, dan (5) Alokasi integrasi dan ekspresi yaitu meliputi cara/ tehnik sosialisasi internalisasi maupun pelestarian nilai-nilai maupun perilaku pada setiap anggota keluarga dalam memenuhi tuntutan norma-norma yang berlaku.[13]
Apabila pengasuhan tidak dapat dilakukan ayah maka pengasuhan akan dilakukan oleh kerabat diluar keluarga inti. Sayangnya, pengalihan pengasuhan tidak juga diikuti dengan pengalihan pengelolaan dana dari gaji ibu yang bekerja sebagai Tenaga Kerja Wanita diluar negeri.  Pengelolaan dana akan di bebankan tanggung jawabnya kepada orang pertama yang memang diberikan tanggung jawab sebelum ibu berangkat keluar negeri. Meskipun orang pertama yang diberikan tanggung jawab tersebut selanjutnya tidak dapat menjalankan tanggung jawabnya, pengelolaan dana bisa jadi akan tetap dikelola oleh pihak pertama yang diberikan tanggung jawab. Pengasuhan bisa juga beralih dari orang pertama yang diberikan tanggung jawab kepada pihak lain. Namun, tidak ada landasan hukum yang bisa menekan bahwa dana yang berasal dari gaji ibu sebagai Tenaga Kerja Wanita harus juga dialihkan kepada siapa saja yang membawa beban tanggung jawab dalam pengasuhan anak. Akibatnya, seringkali anak- anak yang ditinggalkan ibunya keluar negeri dan pengasuhannya telah dialihkan, tidak diikuti pengelolaan dana hasil kerja ibu yang juga dikelola dan alokasikan untuk pengasuhan anak. Terjadilah kesenjangan antara pihak yang leluasa mengelola dana dengan pihak yang dibebani pengasuhan anak. Pihak yang leluasa mengelola dana bisa jadi menyalahgunakan haknya untuk kepentingan dirinya sendiri.
Adanya pengalihan tanggung jawab anak- anak yang ditinggalkan ibunya ke Arab Saudi kepada keluarga (suami, orang tua, mertua). Umumnya orang tua atau ibu mertua menerima tanggung jawab tersebut dengan sukarela. Mereka ikut membantu mengurus keluarga yang ditinggalkan. Permasalahan muncul makanala menyangkut uang kiriman dari TKW. Ini dapat menimbulkan salah paham antara orang tua dengan suami, bahkan sampai pada pertengkaran atau konflik rumah tangga.[14]
Gangguan emosional terjadi pada anak- anak yang ditinggalkan, atau orang tua yang menanggung beban tanggung jawab mengurus cucu yang ditinggalkan ibunya.[15]
Kondisi ini memicu konflik antar anggota keluarga, seperti mertua dan menantu. Hal ini merupakan dampak dari perubahan pertanggung jawaban keluarga, yang semula merupakan tanggung jawab intern keluarga ini, setelah istrinya pergi ke Arab Saudi, tanggung jawab, terutama anak- anak dan pekerjaan rumah, seperti mencuci baju, memasak dan membersihkan rumah diserahkan pada suami, orang tua atau anak yang sudah dianggap dewasa.[16]
Keluarga yang mengasuh anak bisa juga memiliki keterbatasan terkait ekonomi sedangkan dana dari gaji ibu yang bekerja sebagai Tenaga Kerja Wanita tidak disalurkan sama sekali untuk kepentingan anak oleh pihak yang terlanjur mengendalikan pengolaannya. Maka, utamanya pendidikan dan kesehatan anak tidak akan terpenuhi dan keberadaan anak akan menjadi tambahan beban bagi keluarga yang mengasuhnya. Anak selain mengalami kekagetan terkait pengalihan pengasuhan juga tidak akan terpenuhi hak- haknya secara finansial.
Landasan hukum mengenai pengasuhan sudah jelas tercantum dalam perundangan. Akan tetapi, pengelolaan dana hasil gaji Tenaga Kerja Wanita yang dikirim untuk keluarga biasanya hanya mempergunakan perjanjian tidak tertulis antar keluarganya sendiri terkait untuk apa dana tersebut dipergunakan. Hal ini kemudian menjadikan dana yang dikirim rawan penyalahgunaan. Terkait dengan pengasuhan anak telah tercantum dalam Undang- Undang Perlindungan Anak (UU RI No. 23 Th. 2002) Bab VI mengenai kuasa asuh pasal 30.
1.      Dalam hal orang tua sebagaimana dimaksud dalam pasal 26, melalaikan kewajibannya dapat dilaksanakan tindakan pengawasan atau kuasa asuh orang tua dapat dicabut.
2.      Tindakan pengawasan terhadap orang tua atau pencabutan kuasa asuh sebagaimana  dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui penetapan pengadilan[17]
Keluarga sendiri sebenarnya memiliki tiga fungsi yaitu fungsi pendidikan, fungsi ekonomi, fungsi perlindungan dan motivasi sosial.
1. Fungsi Pendidikan
Keluarga pada awal perkembangan peradaban manusia merupakan satu- satunya institusi pendidikan. Proses pendidikan pada masa tersebut sepenuhnya ada dalam keluarga. Keluarga masih mampu mendidik anaknya untuk memenuhi kebutuhan lapangan kerja untuk sekadar memenuhi kebutuhan hidup, misalnya pendidikan untuk bekal di bidang pertanian, berburu, pendidikan moral atau agama dan pendidikan untuk mempertahankan diri dari serangan musuh. Pada perkembangan berikutnya karena tuntutan jaman berangsur- angsur fungsi pendidikan pindah ke institusi diluar keluarga yaitu pendidikan nonformal dan formal. Pendidikan nonformal berkembang lebih awal karena kebutuhan belajar tentang norma yang terkait dengan keyakinan agama. Keluarga merasa perlu untuk mengirimkan anaknya ke pondok pesantren agar memiliki bekal agama yang cukup untuk hidup di masyarakat. Di dalam pondok pesantren disamping belajar agama masih juga belajar bela diri untuk memppertahankan diri dari serangan lawan dan banyak lagi materi pendidikan yang diperoleh di lingkingkungan pondok tersebut. Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa pendidikan formal dapat berkembang lebih cepat karena perkembangan ilmu pengetahuan lebih maju dan tidak mungkin dipelajari di dalam keluarga dan di lembaga pendidikan nonformal. Pendidikan formal dapat memberikan jaminan untuk memperoleh pekerjaan sesuai dengan diferensisasi pekerjaan yang ada di dalam masyarakat. Namun pada masa terkahir kini sudah dirasakan fungsi pendidikan formal tidak dapat sepenuhnya menjamin lapangan kerja karena perkembangan penduduk yang sangat cepat, sehingga lulusan pendidikan formal tidak dapat mengimbangi jumlah lapangan kerja yang tersedia. Pertambahan bertambah kompleks setelah kebutuhan ekonomi tidak lagi dapat terpenuhi oleh keluarga dengan jumlah anak semakin banyak.
            2. Fungsi Ekonomi                                             
Proses perubahan ekonomi pada masyarakat industri telah mengubah sifat keluarga dari institusi pendesaan dan agraris menjadi institusi perkotaan dan industri. Perubahan tersebut mempengaruhi fungsi keluarga yang awalnya dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dari hasil pekerjaan anggota keluarga, menjadi keluarga yang kebutuhan hidupnya dicari diluar keluarga dan bahkan meninggalkan desanya untuk bekerja dalam dunia industry. Dengan demikian fungsi produksi keluarga hilang, berubah menjadi fungsi konsumtif, dimana anggota keluarga menjadi satuan konsumsi semata. Dalam proses perubahan tersebut keluarga mempunyai fungsi motivasi sosial yang dapat mendoronganaknya gar memperoleh pendidikan yang cukup sehingga dapat memasuki dunia kerja yang dapt menopang kebutuhan hidup keluarganya.
3. Fungsi Perlindungan dan Motivasi Sosial
Pada masyarakat tradisional keluarga berusaha memberikan perlindungan baik fisik maupun sosial. Perlindungan fisik diberikan kepada anak- anak yang masih kecil, berupa pemberian rawatan, kesehatan, pemberian pakaian untuk melindungi badan atau perlindungan dari ancaman lawan dan bahkan perlindungan tersebut dapat berupa pemberian rumah tempat tinggal untuk anaknya yang mulai berumah tangga. Sedangkan masyarakat maju atau modern sudah merubah bentuk perlindungannya, misalnya perawatan di ambil alih oleh perawat yang di datangkan dari luar keluarga, anak cukup diberi pendidikan yang memadai sehingga dapat mandiri. Demikian pula untuk motivasi sosial orang tua terhadap anaknya. Dalam masyarakat tradisional motivasi sosial diberikan kepada anaknya sesuai dengan tuntutan hidup keluarga, sedangkan dalam keluarga maju motivasi sosial diberikan terhadap anaknya agar mereka dapat hidup mandiri, tidak tergantung pada orang tuanya atau tergantung kepada orang lain.[18]
Kelalaian keluarga dalam mengasuh anak sehingga tidak bisa menjalankan ketiga fungsi tersebut sebenarnya dapat berakibat pencabutan hak asuh. Hal ini juga berlaku di dalam keluarga Tenaga Kerja Wanita dimana seorang anak sampai berpindah pengasuhan dari satu pihak ke pihak lain akibat kelalaian pihak pertama. Hukum semacam ini sayangnya belum dapat secara penuh ditegakkan.


BAB III
Penutup
Sebuah keluarga dengan istri atau ibu yang memutuskan pergi keluar negeri untuk menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) kemungkinan besar akan mengalami disfungsi antar anggota keluarga. Semua ini terkait dengan peran antar anggota keluarga hingga kekagetan- kekagetan menyoal pengalihan pengasuhan yang mungkin tidak bisa di kendalikan dengan baik oleh anggota keluarga inti sehingga harus melibatkan kerabat bahkan orang lain diluar anggota keluarga inti.
Keluarga bukan hanya tempat bagi anak- anak untuk mendapat pengakuan darimana mereka berasal dalam bentuk administratif namun keluarga sebenarnya juga memiliki beberapa fungsi yaitu fungsi pendidikan, fungsi ekonomi, fungsi perlindungan dan motivasi sosial. Dengan ini, keluarga bisa disebut sebagai sebuah institusi pendidikan. Keluarga merupakan institusi pertama dan utama dimana seorang anak pertama kali mengenal orang lain selain dirinya sendiri, mengenal peraturan, sekaligus juga mendapat perlindungan selama masa pertumbuhannya. Oleh karena itu, keluarga memiliki pengaruh besar dalam proses pertumbuhan seorang anak. Keseharian seorang anak juga sebenarnya dihabiskan jauh lebih banyak dalam lingkup pendidikan informal yaitu keluarga ketimbang dalam lingkup pendidikan formal (persekolahan) maupun nonformal (masyarakat). Untuk itu, dalam perubahan selama proses pertumbuhan seorang anak, keluarga memiliki pengaruh sangat besar ketimbang institusi pendidikan lainnya.
Terkait keluarga Tenaga kerja Wanita. Ketidakjelasan pengelolaan dana hasil gaji Tenaga kerja Wanita bekerja diluar negeri yang sebenarnya dipertukkan utamanya bagi peningkatan kesehatan anak- anak dalam keluarga dan juga ketidakjelasan pengalihan pengasuhan anak- anak menjadi permasalahan utama.
Mengenai pengasuhan oleh orang tua atau wali memang memiliki payung hukum. Anak- anak yang tidak terpenuhi kebutuhan atau hak- haknya sebenarnya bisa dicabut hak asuhnya dari orang tua atau wali meskipun dalam kenyataannya, hal tersebut belum bisa nyata di tegakkan.
Sayangnya, terkait dana yang dikirimkan Tenaga kerja Wanita dari luar negeri pada keluarga yang sesungguhnya diharap mampu meningkatkan taraf hidup utamanya anak- anak. Tidak ada kejelasan dan payung hukum yang menekan bahwa dana hasil kerja yang dikirim Tenaga kerja Wanita kepada keluarganya harus memiliki alokasi khusus untuk memenuhi kebutuhan anak- anak. Penelantaran anak akhirnya rawan terjadi. Disebut sebagai penelantaran anak adalah ketika hak dan kebutuhan anak tidak terpenuhi hingga kehidupan anak menjadi sulit baik saat ini maupun dihari depan.
Model bimbingan kepada keluarga agaknya memang tepat untuk memantau terpenuhi atau tidaknya kebutuhan dan hak- hak anak dalam keluarga Tenaga kerja Wanita mempergunakan gaji yang dikirimkan. Namun, model bimbingan kepada keluarga tidak akan cukup menekan penyalahgunaan dana yang dikirim Tenaga kerja Wanita kepada keluarga dari luar negeri. Model surat perjanjian agaknya jauh lebih tepat dan mampu menekan penyalahgunaan dana tersebut.
Model surat perjanjian dalam keluarga terkait pengelolaan dana sebenarnya sudah dipergunakan dalam Program Keluarga Harapan (PKH). Akan tetapi, dana yang dikelola dalam PKH berasal dari pemerintah terkait yang bertujuan memenuhi kebutuhan kesehatan dan pendidikan keluarga utamnya anak- anak.
PKH (Program Keluarga Harapan) adalah suatu program yang memberikan bantuan tunai kepada Rumah Tangga Sangat Miskin (RSTM), jika mereka memenuhi persayaratan yang terkait dengan upaya peningkatan kualitas sumberdaya manusia (SDM, yaitu peningkatan pendidikan dan kesehatan.
Tujuan utama PKH adalah untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia terutama pada kelompok masyarakat miskin. Tujuan tersebut sekaligus sebagai upaya mempercepat pencapaian target MDGs. Secara khusus, tujuan PKH terdiri atas:
1). Meningkatkan kondisi sosial ekonomi RTSM
2). Meningkatkan taraf pendidikan anak- anak RTSM
3). Meningkatkan status kesehatan dan gizi RTSM
4). Meningkatkan akses dan kualitas pelayanan pendidikan dan kesehatan, khususnya pagi RTSM.
Sasaran atau penerima bantuan PKH adalah RTSM yang memiliki anggota keluarga terdiri dari anak usia 0- 15 tahun dan atau ibu hamil atau nifas dan berada pada lokasi terpilih. Penerima bantuan adalah Ibu atau wanita dewasa yang mengurus anak pada rumah tangga yang bersangkutan (jika tidak ada ibu maka: nenek, tante/ bibi, atau kaka perempuan dapat menjadi penerima bantuan). Jadi, pada kartu kepesertaan PKH pun akan tercantum nama ibu/ wanita yang mengurus anak, bukan kepala rumah tangga. Untuk itu, orang yang harus dan berhak mengambil pembayaran adaah orang yang namanya tercantum di Kartu PKH.[19]
Serupa dengan program PKH. Model perjanjian pengasuhan dalam keluarga Tenaga kerja Wanita dalam rangka menanggulangi penelantaran anak, juga menghadirkan salah satu penanggung jawab yang telah berusia dewasa dimana penanggung jawab tersebut berperan sebagai pengelola dana yang dikirim Tenaga kerja Wanita kepada keluarga dalam rangka memenuhi hak dan kebutuhan anak- anak. Penganggung jawab tersebut juga bisa menjadi wali bagi anak.
Calon penerima terpilih harus menandatangani persetujuan bahwa selama mereka menerima bantuan, mereka akan:
1). Menyekolahkan anak 7- 15 tahunserta anak usia 16- 18 tahun namun belum selesai pendidikan dasar 9 tahun wajib belajar
2). Membawa anak usia 0- 6 tahun ke fasilitas kesehatan sesuai dengan prosedur kesehatan PKH bagi anak
3). Untuk ibu hamil, harus memeriksakan kesehatan diri dan janinnya ke fasilitas kesehatan sesuai dengan prosedur kesehatan PKH bagi ibu hamil.[20]
Dalam perjanjian pengasuhan, poin ketiga tidak perlu dituliskan. Titik tekan persetujuan ini terutama kepada penyelesaian pendidikan anak selama 9 tahun mempergunakan gaji ibu sebagai Tenaga Kerja Wanita yang dikirim kepada wali sebagai penanggung jawab. Pelaksanaan surat perjanjian pengasuhan ini bisa bekerja sama dengan pihak- pihak yang terkait dalam Program Keluarga Harapan yang juga mempergunakan surat pernyataan sebagai landasaan pemenuhan hak- hak anak. Wali atau penanggung jawab akan mengisi data- data terkait anak- anak yang menjadi tanggungan dan juga akan menandatangani surat pernyataan terkait pemenuhan hak- hak anak mempergunakan gaji yang dikirim. Dengan demikian meskipun ibu jauh dari lingkungan anak- anak, hasil kerja ibu berupa gaji tidak akan disalahgunakan, pemenuhan hak kesehatan dan pendidikan akan menjadi prioritas utama dari dana hasil kerja tersebut.
Dalam pemenuhan kebutuhan anak menggunakan gaji yang dikirimkan ibu dari luar negeri juga ada pendampingan bagi setiap keluarga. Pendampingan dan pengawasan pemenuhan kebutuhan kesehatan dan pendidikan anak serupa dengan yang ada di Program Keluarga Harapan. Dengan pendampingan, keluarga yang dipantau akan lebih mudah medapat bantuan apabila terjadi hambatan- hambatan. Pendampingan ini terutama memastikan bahwa kebutuhan anak atas pendidikan dan kesehatan terpenuhi sepenuhnya. Pendampingan juga berperan melindungi anak- anak dan menekan pihak keluarga yang bertanggung jawab apabila terdapat penyimpangan- penyimpangan yang menyalahi hak dan kebutuhan anak.
Penanggung jawab pengelolaan dana gaji ibu akan dicatat secara administratif. Penanggung jawab tersebut bisa menjadi penanggung jawab pengelolaan dana sekaligus wali bagi anak atau bisa juga wali dan pengelola dana adalah orang yang berbeda.
           

Daftar Pustaka
Kumalasari, Luluk Dwi 2011, ‘ Keharmonisan Keluarga TKW Dalam Perpektif Gender (Studi  Di Donomulyo Malang)’, Humanity, vol. 6, no. 2

Marta, Nur’aeni 2008, ‘ Tenaga Kerja Wanita Yang Bekerja Di Arab Saudi Tahun 1983- 1990’, tesis, Universitas Indonesia

Brooks, Jane 2011, The Process Of Parenting, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Mundzir, H.S 2005, Sosiologi Pendidikan, Elang Mas, Malang
Surya, Mohammad 2001, Bina Keluarga, Aneka Ilmu, Semarang
Sinar Grafika 2005, Undang- Undang Perlindungan Anak (UU RI No. 23 Th. 2002, Sinar Grafika, Jakarta.

Sudiapermana, Elih 2012, Pendidikan Keluarga Sumberdaya Pendidikan Sepanjang Hayat, Edukasia Press, Bandung
Surya Online 2014, Surabaya, dikases 15 oktober 2014, <http://surabaya.tribunews.com/2014/01/12/jumlah-tki-jatim-berkurang> 




[1] Surya Online 2014, Surabaya, dikases 15 oktober 2014, 
[2] Nur’aeni, Marta 2008, ‘ Tenaga Kerja Wanita Yang Bekerja Di Arab Saudi Tahun 1983- 1990’, tesis, Universitas Indonesia
[3] Luluk Dwi,  Kumalasari 2011, ‘ Keharmonisan Keluarga TKW Dalam Perpektif Gender (Studi  Di Donomulyo Malang)’, Humanity, vol. 6, no. 2, hlm. 106 - 115
[4] H.S, Mundzir 2005, Sosiologi Pendidikan, Elang Mas, Malang, hlm. 71
[5] Luluk Dwi, Kumalasari, op.cit hlm. 106 - 115

[7] Luluk Dwi, Kumalasari, op.cit hlm. 106 - 115

[8] Elih, Sudiapermana, 2012, Pendidikan Keluarga Sumberdaya Pendidikan Sepanjang Hayat, Edukasia Press, Bandung, hlm. 77
[9] Luluk Dwi, Kumalasari, op.cit, hlm. 106 - 115

[10] Mohammad, Surya 2001, Bina Keluarga, Aneka Ilmu, Semarang, hlm 230

[11] Jane, Brooks 2011, The Process Of Parenting, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 887
[12] Institut Pertanian Bogor, ‘Konsep dan Teori Keluarga, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
[13] Ibid    
[14] Marta, Nur’aeni, loc.cit
[15] Ibid
[16] Ibid
[17] Sinar Grafika 2005, Undang- Undang Perlindungan Anak (UU RI No. 23 Th. 2002, Sinar Grafika, Jakarta.
[18] H.S, Mundzir, op.cit hlm. 72-74
[19] Elih, Sudiapermana, op.cit hlm 116-118
[20] Elih, Sudiapermana, op.cit hlm 119

No comments: