Saturday, January 30, 2016

Pelacur dan Seorang Teman Lama


“Kamu sangat cemerlang di SMA, kenapa mesti jadi pelacur?” tanyamu sambil menggeser kotak rokok lebih dekat dengan dadamu.
“Aku sangat takut ketika membayangkan ketidakmapanan. Untuk itu, aku menjadi seorang pelacur.” Jawabku sambil menarik kotak rokok lebih dekat dengan dadaku.
“Ah, akan ada banyak jalan soal itu, Agni. Kamu sangat cerdas, pipimu merah jambu dan rambutmu tebal, kenapa tidak cari suami kaya saja?”
“Itu cara tidak terhormat.” Ketusku sambil meraih korek api dari nakas.
“Setidaknya, dengan begitu, kamu tidak melacur…”
“Merampok uang pelan-pelan dari seorang lelaki yang sesungguhnya tidak aku cintai, bukan begitu?” api mulai aku nyalakan dari korek. Setelah api menyala beberapa detik, buru-buru aku meniup api itu sambil menggeser duduk lebih dekat denganmu.
“Status pernikahan menyelamatkan mukamu di masyarakat.” Kamu tetap duduk di tempat, tidak berusaha menjauh atau mendekati tempatku duduk sekarang.
“Itu cara munafik. Jadi pelacur adalah hal yang paling jujur bagi aku sekarang. Setidaknya, meski aku sudah tidak memiliki keperawanan, aku masih memiliki kejujuran.” Aku mengambil satu batang rokok, kemudian menyelipkannya di antara telunjuk dan jari tengahku.
            “Keras kepala...” Kamu menarik rokok yang terselip di antara dua jariku.
“Kamu ingin aku jadi seperti mantan pacarmu itu? Yang anggun memakai penutup kepala sepanjang dada? Yang tiga tahun memacarimu demi tas dan sepatu? Dia sama seperti aku kecuali soal keperawanan!” jeritku sambil menoleh membelakangi bahu kirimu.
“Dia…” ucapanmu belum selesai, namun aku tidak sabar buat buru-buru memotongnya dengan satu lagi jeritan.
“Dia rindu kemapanan, sama seperti aku. Namun, dia mengambil jalan munafik! Berbohong penuh!”
“Kamu boleh mengumbar semua yang menurutmu benar. Tapi, jangan sangkut soal penutup kepalanya yang sepanjang dada itu, aku mohon...”
“Lucu, sekian tahun setelah kita bertemu kembali di ranjang, kamu tetap sama, isi kepalamu tetap seperti drama di televisi…” aku menarik rokok yang terselip di antara telunjuk dan jari tengahmu.
“Aku tidak pernah cukup cerdas buat menangkap maksudmu, Agni.” Ucapmu datar.
“Televisi selalu menampilkan gadis dengan rambut terurai seperti aku ini, sebagai tokoh jahat dan penyiksa. Sedangkan, gadis berpenutup kepala seperti mantan pacarmu itu, selalu digambarkan sebagai tokoh kalem yang jadi bulan-bulanan penyiksaan. Jika televisi membaliknya, para aktivis yang katanya membela Tuhan itu bakal menyerbu, bukan begitu?”
“Tidak, Agni… aku…” ucapanmu semakin kalem.
“Pelacur dan pacar hanya punya beda soal keperawanan saja. Selebihnya, cuma menyoal kamu dapat menyentuhnya di sana-sini dan dia dapat kemapanan yang dia mau, bukan begitu?”[1]
“Agni…” ucapanmu kali ini bisa dibilang paling lirih.
“Ah, berapa sih? Total uang buat tas dan sepatu yang kamu berikan pada mantan pacarmu itu? Aku yakin jauh lebih banyak ketimbang sekali mengundang aku ke ranjang. Rugi! Hanya menyentuh bagian terluar pakaiannya selama tiga tahun dan mengeluarkan biaya yang lebih banyak ketimbang sekali mengundang seorang pelacur seperti aku.”
Kamu menarik napas sebelum menahannya kemudian menjerit,”Dengan pacar, kamu masih memiliki rasa ketika menyentuhnya! Tidak ketika menyentuh seorang pelacur!”
Bibirku gemetaran. Batang rokok, korek dan kotak, semuanya aku lemparkan ke lantai. Aku menarik selimut hingga batas hidung. Bola mataku berair.
“Pergilah… ingat pertemuan pertama kita di ranjang bertahun-tahun lalu itu sebagai yang paling pertama sekaligus tidak bakal terulang.”
Kamu menggeser duduk hingga berdempetan dengan tubuhku. Kepala kamu sandarkan di bahuku sambil mulai sesenggukan.
“Besok kita mesti menikah, Agni. Maaf… aku datang ketika baru berani menyajikan kemapanan padamu. Maaf… aku lari setelah pertemuan pertama kita di ranjang bertahun-tahun lalu. Maaf, Agni… maaf…”
Mendadak, pipiku basah.



[1] Terinspirasi dari salah satu paragraf cerpen Suami Terbaik, oleh Muhajjah Saratini: Mereka hanya mencari celah untuk menyentuh bagian tubuhku. Ini seperti barter, sih. Mereka memfasilitasi hidupku, dan aku menjadi “selir” mereka. Dipamerkan ke mana-mana. Disentuh di sana-sini. Sial! Kadang aku pikir, beda pacar dan pelacur itu hanya tidak memberi keperawanan. Ya ada juga sih sebagian wanita bodoh yang memberi keperawanan mereka ke pacar dengan sukarela. Ah, wanita.

Thursday, January 28, 2016

Peramal

Peramal itu mengatakan hal-hal baik di depan kita. Katanya, kamu bakal jadi dosen; seorang guru besar. Katanya lagi, karirku bakal bagus di stasiun televisi; persis harapan.

Sebelum kita menyerahkan dua lembar uang sepuluh ribuan sebagai imbalan, si peramal memandangi kita. Ia pun kemudian mengatakan, sesungguhnya kita saling suka, namun sama gengsi buat mengungkap itu semua.

Sekeluarnya dari tempat peramal, aku memanyunkan bibir. Rasanya benar-benar buang-buang waktu ketika kamu membawaku ke tempat seorang peramal yang jelas-jelas hanya bakal mengatakan hal yang ingin pelanggannya dengar. Kesenangan pelanggan bakal membuat uang yang diberikan padanya lebih banyak. Ini tidak logis dan konyol.


“Aku tahu yang kamu pikirkan, Agni…” kamu buka suara, disusul tawa terkekeh yang panjang.

“Sepuluh tahun kita bareng, kamu tentu tahu betul isi pikiranku.” Balasku ketus.

“Kamu berpikir bahwa dia hanya mengatakan apa-apa yang ingin didengar para pelanggannya supaya mendapat lebih banyak uang, bukan? Hal demikian menurutmu konyol dan tidak logis...” kamu memastikan sambil menarik badanku lebih dekat.

Aku mengangguk.

“Jika memang dia hanya mengatakan hal-hal yang ingin didengar oleh para pelanggannya, setidaknya dia mengatakan bahwa kita saling suka. Bukankah itu jawaban yang kita inginkan selama ini? Bila saja kita tidak coba mendatangi peramal tadi…” kamu belum selesai bicara, namun aku buru-buru mengibaskan tanganmu dan berlari kecil menuju tenda si peramal. 

Kembali…

“Agni! Mau kemana kamu?!” jeritmu sambil berusaha menyusulku.

“Aku akan memberi tambahan uang pada peramal itu!” Sahutku. 

Aku mulai mengencangkan lari. Kulit mukaku terasa makin panas dan barangkali lebih merah setiap lari aku kencangkan.

Disunting ulang, 29 Februari 2021

(Kepada Yang Ter-Klise) Rindu, Hujan, Kopi, Cangkir dan Senja

(Kepada Yang Ter-Klise) Rindu, Hujan, Kopi, Cangkir dan Senja

Saya tidak bakal membahas soal rindu, hujan, kopi, cangkir dan senja.
Bisa jadi itu semua memang kamu, atau kamu main pura-pura kesemuanya seolah kamu.

Tapi, bukan saya, barangkali.

Lihat, saya tidak membahas semua itu, bukan?

Wednesday, January 27, 2016

Kangen Kamu, Pohon


Papa menghadiahi saya sebuah bibit pohon. Begitu saya tanam dan siram, bibit itu meninggi setara dengkul dan berbuah sebuah ponsel. Ponsel itu dilengkapi infra merah, kamera VGA juga pemutar musik. Beda benar dengan ponsel saya terdahulu, cuma dilengkapi radio dan layarnya berwarna kuning. Asalnya pun, dari pohon yang cuma setinggi mata kaki. Meski keduanya sama-sama memiliki tujuh belas tombol.
“Kamu pantas mendapatkan bibit pohon yang lebih baik.” Papa selalu berkata begitu, tiap saya bertanya soal bibit yang baru dia berikan itu.
Memang saya mendapat peringkat delapan selama dua semester berturut-turut. Papa sudah menjanjikan bibit pohon yang lebih baik jika saya masuk sepuluh besar selama tahun pertama masuk SMK.
Satu siang, saya melihat Tata mengelus dan mengelap sebuah pohon yang bahkan tidak sampai setinggi betis di halaman rumahnya. Kami sama-sama kelas sebelas sekarang. Dia seorang tetangga yang rajin bertukar senyum dulunya, sama seperti saya. Tapi tidak setelah pohon kecilnya itu datang. Pohonnya bikin dia sibuk. Belakangan saya tahu, bahwa pohon itu menghasilkan ponsel tanpa tombol dan memiliki kamera belasan mega pixel.
“Saya bisa mengirim gambar, tulisan dan suara dengan ponsel ini. Pohon ini pun tidak seperti pohonmu yang cuma menghasilkan keypad, baterai dan komponen pengganti lain sebelum ponselmu mumur. Pohon ini menghasilkan Instagram, Photogrid, Path dan banyak lainnya. Ah, pokoknya beda benar dengan pohon milikmu itu.” Jawab Tata ketika saya menanyakan fungsi pohon kecilnya. Saya merasa iri. Bayangan-banyangan soal dia dan pohon itu terus berkelebat. Tata pasti bakal bisa mengirim lebih dari seratus pesan sehari, tanpa nyeri di jari-jari.
Pada papa, saya mulai protes. Bagaimana pohon saya yang lebih tinggi menghasilkan ponsel yang tidak lebih baik?
“Oh, tentu. Pohon milik Tata namanya bonsai. Kamu bisa memilikinya jika tahun ini naik peringkat.” Jelas papa menyahut protes saya.
            Saya semangat benar selama setahun di kelas sebelas. Waktu ujian, saya saling tukar jawaban dengan teman-teman melalui ponsel. Peringkat saya naik dua tingkat kemudian. Dan papa, dia membawakan saya sebuah bonsai. Lebih tinggi dari milik Tata. Setidaknya setinggi pohon lama saya.
            “Kamu tidak perlu menyiramnya seperti pohon lamamu. Cukup kamu elus dan lap saja. Nanti dia akan menghasilkan Photogrid, Path, WhatsApp dan banyak lainnya. Persis yang kamu mau. Meskipun mendapat semua itu, kamu jangan pernah berhenti bertukar senyuman” Sela papa saat memergoki saya hampir menyiram bonsai itu dengan air.
            Bonsai milik saya itu, ternyata menghasilkan ponsel yang kedap air, memiliki kamera puluhan mega pixel, juga tidak memiliki tombol. Saya tidak perlu khawatir, jika ponsel itu kecemplung bak mandi. Sekarang, saya bisa mengobrol diam-diam dengan pacar sambil mandi. Kami mudah bertemu, tanpa perlu dia mengetuk pintu rumah saya terlebih dahulu.
            Tata beberapa kali kepergok melirik benci, ketika melihat saya mengelap bonsai di halaman depan. Dia cuma iri. Saya yakin sebabnya cuma menyoal bonsai milik saya yang lebih tinggi. Kami sekarang sama-sama kelas dua belas. Dan sama-sama malas bertukar senyum. Saya puas dengan bonsai yang saya miliki sekarang. Tidak ingin pohon lain. Papa juga tidak menjanjikan pohon lain jika saya mendapat peringkat yang lebih baik di kelas dua belas. Soal peringkat, saya sekarang juga tidak peduli.
            Satu waktu kemudian, saya ketahuan sedang berciuman dengan pacar saya di stasiun kota. Waktu itu masih jam sekolah dan kami memang berjanji bertemu diam-diam lewat ponsel. Kami berdua digiring naik mobil Pamong Praja. Guru menelepon papa buat menjemput saya. Papa datang, kemudian menampari muka dan menjambak rambut saya selama perjalanan menuju rumah.
            Sampai rumah, papa mengurung saya dalam kamar. Dari jendela, tampak papa menyulut api kemudian bonsai terbakar. Ponsel saya mumur.
            Papa hanya membolehkan saya keluar rumah untuk menyirami kaca-kaca di halaman belakang. Kaca-kaca yang saya akui memang bikin udara lebih sejuk dan kata para aktivis rewel itu, bisa menjadi resapan air. Papa juga sangat yakin bahwa menyirami kaca-kaca itu bakal membuat saya kembali mau bertukar senyum.
            Dengan pacar, saya putus komunikasi. Saya kangen ciumannya, juga pesan suaranya melalui WhatsApp. Gara-gara ponsel saya mumur, kami tidak bisa berkomunikasi dan bertemu diam-diam.
            “Kalau dia memang cinta pada kamu, dia bakal mengetuk pintu rumah ini buat bertemu dengan kamu.” Ucap papa berkali-kali, tiap saya mengumpati pohon saya yang terbakar dan ponsel saya yang mumur.
            Saya kangen kamu, pohon…

Mencintai Karena Alloh?


Apa sebab kamu mencintai dia?

Aku mencintai dia, karena Alloh…

Cinta yang seperti apa itu?

Dia baik dalam sholat, membaca Al-Qur’an dan menghafal hadist. Itu yang disebut cinta karena Alloh…

Tendensius…

Tendensius? Bagaimana bisa? Agaknya, sampeyan mesti belajar agama lebih giat lagi.

Aku belum benar belajar agama, aku juga tidak berani mengumumkan diri sebagai seseorang yang mencintai seseorang lainnya karena Alloh.

Sungguh, yang bakal menyelamatkan dirimu di hari akhir salah satunya, adalah seseorang yang kamu cintai karena Alloh, yang nantinya kamu pilih buat hidup seterusnya bersamamu.

Karena dia baik dalam sholat, membaca Al-Qur’an dan menghafal hadist?

Betul…

Tendensius…

Bagaimana bisa? Mari, kita bersama-sama lebih mendalami ilmu agama.

Tentu bisa, karena kamu memilihnya karena dia kamu anggap dapat menyelamatkan dirimu di hari akhir. Kemudian, kamu menyebut yang demikian atas nama cinta karena Alloh.

Demi Tuhan! Layaknya, kamu belajar lebih banyak soal agama!

Aku sedang melakukannya…

Tuesday, January 26, 2016

Hati dan Pikiran

Fakta-fakta yang berhasil kamu rasionalisasi, semuanya belum tentu benar
-SHEILA-

Apa yang nyaman di kuping dan hatimu, semuanya juga belum tentu benar
-ANOMALI-

Temu

Akbar melongo melihat kedatangan gadis itu. Ah, sebenarnya dia sudah tahu soal kedatangan gadis itu dari tim kreatif di studio. Tapi, sapaan gadis itu di depan ruang make up nyata-nyata masih membuat lubang keterkejutan sendiri dalam batin Akbar.
“Seperempat jam lagi, kita naik stage, Bar,” Ucap gadis itu sambil giginya terus menggerus batangan coklat.
Mata Akbar tertuju pada batang coklat yang tengah digerus gadis itu di antara gigi-giginya. Gigi-gigi gadis itu mendadak berhenti bergerak, tatapan Akbar dia sangka sebagai tatapan menyelidik yang tidak cukup membuatnya nyaman.
“Aku sekarang hobi megunyah coklat, Bar. Hanya berganti cemilan, dari rokok ke coklat,” gadis itu terkekeh. Akbar membeku. Bukan soal berita, bahwa gadis yang sekarang sedang bersandar di kusen pintu di hadapannya itu, sekarang lebih menyukai coklat ketimbang rokok. Ini soal…
“Agni, aku ingin kita mengobrol panjang.” Akbar akhirnya berucap. Sebelum Agni membuka mulutnya buat menyahut ajakan Akbar, sepasang kaki kedengaran berderap mendekati pintu.
“Bang Akbar, Kak Agni, lima menit lagi kita on air ya.” Seorang lelaki yang kira-kira berusia dua puluh tahunan berkata dengan tegas sambil napasnya berkejaran. Sebuah headphone kelihatan menutupi dua kupingnya dan lambang stasiun televisi Z tercetak di lengan kirinya.
“Oke, siap. Saya dan Akbar siap di belakang setelah ini.” Agni menyahut. Roman muka Akbar kelihatan kecewa. Ajakannya pada Agni belum terjawab.

Agni tersenyum tipis, mungkin nyaris tidak kelihatan oleh Akbar. Sambil menjauhi pintu, dia berujar,”Setelah on air, aku sangat bersedia mengobrol dengan kamu. Aku rindu betul dengan obrolan-obrolan kita.”

Rapal Si Pengecut

Setiap jumpa, kamu merapalnya,
Merapal keterpesonaan.
Karena dengan itu, aku berhenti bertanya-tanya, sampai mana kamu kompeten.

Pengecut !

Wednesday, January 20, 2016

Nyata dan Benar

Sumber: Dokumentasi pribadi

Pada kenyataannya, kamu benar.

Pada kebenarannya, kamu salah.


ANOMALI

Cemburu

Sumber: Dokumentasi pribadi


Cemburu itu rasanya sakit, saya tahu itu. Maka saya, tidak ingin mencintai kamu. Karena pada kamu, saya cinta...


ANOMALI

Iman?


Aliman disuruh ibunya mengaji saban hari. Jika menolak, kuping Aliman bakal disambar tangan tebal ibunya buat dipelintir. Ibunya bilang, Aliman mesti terus menjaga iman, seperti namanya yang terdiri dari dua kata; Alim dan Iman. Dengan mengaji… dengan mengaji… artinya pada Tuhan percaya.

Ibu Aliman sholat sehari lima kali. Aliman pun dituntut mencontoh ibunya yang sholat sehari lima kali. Ibunya bilang, Aliman mesti terus menjaga iman, seperti namanya yang terdiri dari dua kata; Alim dan Iman. Dengan sholat… dengan sholat… artinya pada Tuhan percaya.

Kabarnya, kyai bersorban putih yang tinggal dua rumah dekat langgar, mampu memprediksi masa depan. Ibu Aliman memastikan masa depan putranya pada sang kyai…

Iman?


Tuesday, January 19, 2016

Matahari dan Dua Kamu yang Berbeda

Sebuah percakapan BBM.
“Ah, aku pengin lihat matahari.”
“Aku sudah di depan rumah kamu, ayo kita lihat matahari. Buruan keluar rumah dong!”
*
Sebuah percakapan BBM.
 “Ah, aku pengin lihat matahari.”
“Eh, kamu tahu nggak? Dalam sebuah kepemimpinan, mustahil bisa ada matahari kembar. Dan…”
*

Bisa kamu lihat? Aku sedang bicara dengan dua Kamu yang berbeda…

Monday, January 11, 2016

Fi (Untukmu yang ke 20)

Pengetahuan bisa dikejar, Fi.
Ada yang beruntung punyan bibitnya, ada yang benar-benar mengejarnya.

Kamu salah seorang yang memiliki bibit itu dengan beruntung.
Tapi, Tuhan memertemukan kita dan membuat kita saling memilih bukan karena itu.

Semua karena aku dan kamu sama-sama punya bibit pembenci sekaligus bibit untuk mencintai, berbarengan.


Berbagai pertemuan dan dengan cara menuntunnya Tuhan, bikin aku memilih bibit mencintai itu berkembang. Aku tidak tahu bagaimana kamu akan memilihnya nanti. Terserah.

Berterimakasih juga lah pada luka dan ruam. Dia membuat kita bisa saling paham.

Terimakasih atas semua yang terjalin selama ini. Semoga persahabatan ini terjalin terus terlepas pilihanmu, apa pun itu.
Selamat untukmu yang ke 20.
12 Januari.

Dari aku,

Penuh cinta.

Sunday, January 10, 2016

Guru Itu, Bikin Saya Patah Hati


Waktu saya berusia delapan tahun, saya punya seorang guru yang mengajari kami semua beberapa mata pelajaran yang saling berkaitan. Guru itu seorang pengantin baru, menikahi pegawai administrasi yang paling cantik di sekolah.
Selanjutnya, saya sebut guru tersebut Mr. A saja dalam tulisan ini, ya? Meskipun saya ngerti, ketika kamu membaca tulisan ini, kamu pasti bisa tebak siapa Mr. A yang saya maksud.
Mr. A saban hari selalu membanggakan teman-teman saya yang menonjol di bidang akademis. Ada Desi, yang sekarang masih kuliah di jurusan psikologi, jadi owner sebuah kafe dan brand sepatu Remora. Kemudian Alwan, yang sekarang masih kuliah di jurusan filsafat, dia memang pemikir ulung. Desi dan Alwan mendapat nun tertinggi waktu hari kelulusan. Lengkap sudah kebanggaan Mr. A.
Sebenarnya, kalau boleh saya berpikir positif, Mr. A tidak benar-benar salah ketika terus membanggakan murid-murid seperti dua teman saya tadi. Barangkali, dengan menceritakan hal demikian, beliau berharap cerita yang demikian itu bisa jadi inspirasi bagi orang lain. Beda lagi apabila beliau menceritakan saya. Saya cuma murid perempuan biasa dengan nilai pas-pasan dan hobi menggambar yang berlebihan. Hehe… bandingkan dengan Alwan yang selalu sholat dhuha tiap jam istirahat dan membawa dagangan ibunya ke sekolah, ditambah rekam jejak akademisnya yang sangat gemilang.
Satu hal yang lucu, Mr. A bercerita selalu dan seolah-olah murid-murid membanggakan itu adalah miliknya, dan karena beliau mereka ada. Saya tentu saja bisa menangkap hal itu dengan baik. Hehe… saya pernah gemilang dalam bidang akademis dan beliau jadikan bahan kebanggaan di depan siapa pun. Padahal, apa-apa yang saya dapat itu hasil belajar bersama mama loh. Tidak ada motivasi atau pembelajaran yang spesial dari beliau buat saya. Lebih lucu, ketika saya merosot di bidang akademis, beliau tidak lagi mengenali diri saya. Beliau tidak lagi pernah menyebut nama saya, apalagi bertanya kenapa saya bisa merosot di bidang yang beliau suka banggakan itu. Saya hilang di mata beliau.
Satu waktu, beliau pernah mengatakan bahwa, kesuksesan seorang anak biasanya nampak ketika masa Sekolah Dasar. Anak-anak yang gemilang di masa itu, biasanya gemilang juga di masa-masa mendatang. Saya melongo dan benar-benar patah hati. Kamu ngerti apa artinya, kan? Anak-anak biasa seperti saya, tidak ada harapan. Saat itu, saya berpikir semuanya sudah selesai. Saya makin gila menggambar dan tidak mau mengenali apa-apa yang ada di sekitar saya. Hal itu berlangsung terus hingga saya SMP.
Di SMP, banyak mata mengasihani saya. Rekam jejak akademis saya makin hancur. Satu alasan, saya merasa tidak mampu seberapa banyak pun saya berusaha memasukkan semuanya dalam kepala. Tidak ada teman yang kelihatan selalu bersama saya. Semua berpikir, saya sebenarnya bukan siswi bermasalah, saya nurut pada aturan, hanya saja tidak mampu melakukan banyak hal dan kemungkinan punya hari depan yang menyedihkan. Saya juga terus mengingat perkataan Mr. A. Selalu…
Saya tidak pernah mengimajinasikan soal bisa kuliah atau tampil di panggung atau tampil di podium atau mengajarkan sesuatu pada orang lain. Yang saya berani, cuma berfantasi. Saya berfantasi jadi Kamichama Karin, juga Nagisha Pretty Cure. Senang betul saya berfantasi soal kekuatan sihir dan menyelamatkan dunia dan teman-teman super banyak yang mengelilingi saya. Soal semua itu, saya membicarakannya dengan menggambar.
Tentang Mr. A, saya selalu mengingat sosok utuhnya hingga hari ini, bahkan caranya tersenyum dan lambaian tangnnya waktu mengajar di kelas. Saya harap, beliau berhenti mematahkan hati seorang anak dan saya orang terakhir yang beliau patahkan hatinya.
Salam hormat dan penuh cinta dari saya. Sampai jumpa di hari di mana saya jadi jauh lebih baik ketimbang hari ini, Mr. Terimakasih…

Thursday, January 7, 2016

Biar Saya Kenalkan Diri, Pada Kamu


Soal keberadaanmu, saya mengeluh. Kita kenal lama, tapi kamu tidak pernah tahu bagaimana saya menyukai gunung, pantai dan hutan; yang dari kesemuanya saya paling menyukai hutan.
Sewaktu-waktu kamu menceritakan dirimu sendiri pada saya; kuliah, keuangan, mantan perempuanmu dan perempuan incaranmu. Lucunya, kamu merasa kita sedemikian dekat. Padahal, saya tidak pernah menceritakan hal serupa pada kamu. Menurut saya, kamu tidak bakal mengerti, pemahamanmu tidak bakal pernah sampai, saya terlalu rumit dan istimewa buat kamu pahami. Saya selalu merasa demikian…
Kamu terus menerus bercerita, dan saya terus mendengar, dan saya terus mengeluhkan keberadaanmu.
Tidak seperti mereka yang saya puja, kamu tidak bisa saya ajak ngobrol soal isme-isme. Kamu jengah berpikir soal itu. Obrolan soal bagaimana mencari makan tanpa nyolong lebih menarik minatmu. Selalu…
Kamu sedemikian telaten menemani saya nonton teater, padahal jarak di mana panggung digelar, makan banyak tenagamu. Kamu tidak pernah suka teater, tapi kamu pura-pura menyukai dan sok mengerti perkara menikmati dunia panggung. Saya sinis, saya ngerti bahwa kamu cuma pura-pura tahu.
Dalam kepala, saya pikir bahwa kesediaanmu nonton teater cuma imbalan kecil setelah sekian tahun saya mendengarkanmu. Padahal, barangkali itu caramu memerpanjang waktu buat bersama saya. Kamu sedang terus berusaha mengenali saya. Teater jadi bagian kecil kesenangan saya yang barangkali kamu catat.
Bagaimana kamu terus menerus bercerita, barangkali bukan soal kamu tidak pernah bisa mendengar saya. Kamu sedang membuka dirimu selebarnya, dengan menceritakan dirimu dan berlaku begitu percaya pada saya. Barangkali kamu juga berharap satu hal yang sama dari saya.
Pada kamu, saya tetap sinis. Dalam kepala, saya pikir bahwa kamu hanya sedang ingin tahu soal hal yang kamu belum tahu, barangkali itu keseruan tersendiri. Kamu sama seperti kebanyakan orang. Dungu.
Kamu mendatangi waktu saya sakit dan menawarkan kue mana yang saya sukai dan bakal kamu bawa. Susu katamu lupa dibubuhkan pada kue yang kamu bawa. Soal susu, dokter memang melarang meski saya kelewat suka. Barangkali, kamu sengaja berpura-pura lupa. Tidak seperti mereka yang bisa saya ajak bicara soal isme-isme…
Dungu betul, setelah sekian tahun kita saling kenal. Saya baru ingat, betapa saya punya mekanisme bertahan yang sedemikian rumit jalinannya. Soal itu, tidak ada yang istimewa. Setiap orang punya mekanisme bertahan, dan saya cuma salah satu dari sekian. Dalam waktu yang sekian, saya tidak pernah membiarkan kamu mengenali diri saya. Ini bukan soal kamu tidak pernah bisa mendengar saya, namun ini soal kesediaan saya membuka diri pada kamu.
Jadi, selamat datang dan biar saya kenalkan diri pada kamu…