Monday, August 22, 2016

Pernikahan, Sidang Skripsi dan Kematian di Mata Saya


Saya akui memang saya punya konsep aneh soal pernikahan, sidang skripsi dan kematian. Dua bab yang katanya kebahagiaan dan satu bab yang katanya kiamat kecil.
Bab Pernikahan
Saya pernah sangat semangat mendatangi pernikahan seorang teman sekolah. Di masa sekolah, dia bukan termasuk siswi populer. Di bidang akademis maupun non akademis, dia tidak pernah terlalu menonjol.
Namun, saya malah semarak menulis surat berisi ucapan selamat buatnya. Saya juga memaksa ibu buat membantu saya membungkus kado untuk teman saya itu. Bahkan saya dengan girang, masih sempat mengoordinir teman-teman yang juga diundang untuk datang berbarengan, meski akhirnya kami semua tersesat juga berbarengan waktu menuju lokasi. Omong-omong, kalau tidak salah, saya memang ada di barisan motor paling depan, sok mempimpin jalan yang pada akhirnya juga memimpin ketersesatan kami berbarengan eheheh…
Jika dirunut saat ini, ada kesan yang disemat teman saya itu pada hati saya semasa sekolah. Dia berteman dengan saya dengan lugu. Sekadar karena kami mengobrol di selasar atau ketika saya terkekeh dalam batin melihat dia merengek minta diantar ke kamar mandi pada teman saya yang lain.
Bahkan setelah pernikahannya, saya dan beberapa teman masih jalan bersama dia dan suaminya waktu berkunjung ke Kampung Cempluk.
Pada pernikahan lain, saya malah mendatangi seorang teman yang sesungguhnya mengganjal di hati saya. Saya bilang begitu, karena dia lain dari teman-teman sekelas yang lain.
Di masa SMK, yang mengeratkan persaudaraan antara kami sekelas justru dengan saling contek. Dan bayaran berbagi contekan dengan saya itu mahal sekali, kamu mesti berteman dengan saya, itu mutlak.
Jika teman-teman yang lain bisa berteman dengan saya, beda hal dengan teman perempuan saya yang satu itu. Dia ingin bebagi contekan tanpa berteman. Wah… sayang sekali saya terlalu tendensius bila berbagi contekan tidak dibalas dengan pertemanan. Jadilah saya yang suka pura-pura budeg, saat si teman ini sedang ‘butuh’.
Menariknya, saya sangat bersemangat datang pada pernikahan si teman ini. Bahkan saya menyusahkan teman yang saya bonceng, dengan menyuruhnya membawa kado yang secara nominal tidak terlalu mahal, namun ukurannya cukup menyusahkan bila dibawa menggunakan motor.
Garis lurus kedatangan saya pada pernikahan teman yang satu ini, kebahagiaan. Saya tidak bisa jelaskan saya bahagia saat datang pada pernikahannya. Bahkan, saat bertatap muka, kami saling berpelukan, saling cium kemudian foto bersama. Saya tidak pernah melihat dia sedemikian bahagianya melihat saya hari itu. Diri saya sendiri juga kaget, mengapa bisa saya sedemikian bahagianya saat melihat dia yang berkebaya dengan kepala dililit kembang pada hari itu.
Lain lagi saat saya mendatangi pernikahan teman yang lebih lawas. Pernikahannya dihelat sangat sederhana, tanpa pengeras suara, juga tanpa tenda. Saya tersesat sekitar satu jam saat mendatangi pernikahannya yang dihelat di rumah suaminya.
Sebelumnya, saya berkeliling pasar buat mencari kado yang pikir saya tidak masuk prioritas daftar belanjanya meski dia sedang memiliki uang.
Soal kedatangan saya pada penikahan teman yang satu ini, kami punya kenangan panjang di masa sekolah. Kami menyeberang jalan raya depan SD bersama, demi membeli es Wawan yang saat itu populer. Kami juga berbagi bakso yang isinya cuma tiga potong gorengan hampir tiap jam istirahat kedua.
Bahkan, saat datang bulan pertama kali saat hampir kelulusan di SD, teman saya ini yang mengantar saya ke rumah nenek dan mengatasi kebingungan saya. Padahal, saya bukan siswi yang menonjol di sekolah. Jika dirunut lagi, dia tidak pernah punya keuntungan berteman dengan saya. Dia bahkan cuma satu dari sangat sedikit teman di SD yang saya punyai.
Selebihnya, saya melewatkan cukup banyak undangan pernikahan…
Bab Sidang Skripsi
Kali pertama saya datang pada sidang skripsi, akibat paksaan seorang teman. Soal teman saya ini, kamu tidak bakal bisa mendeteksi hubungan kami dari sosial media. Kami tidak pernah foto bersama, bahkan beberapa kali malah saling umpat di sosial media karena beda pendapat.
Dia sosok yang kasar, terang-terangan lagi jujur. Bahkan, dia berani meminjam sepatu kulit milik ayah saya saat hendak penelitian dan sidang skripsi. Dia juga menolak habis-habisan saat ayah memutuskan memberikan sepatu itu padanya. Dalam janjinya, dia pasti membayar sepatu itu suatu saat nanti. (Baca juga: Wayan)
Sidang lain yang saya hadiri, justru pada sidang seorang teman yang tidak meminta saya hadir secara langsung. Selama masa kuliah, saya mengenal dia sangat aktif di bidang seni dan organisasi politik.
Sosoknya lembut, santai namun praktis dan persuasif. Sayang, matanya tidak pernah tersenyum seperti bibirnya yang mengulas senyum sepanjang hari. Padahal, dia bisa jadi pohon yang menanungi banyak orang bila saja matanya bisa tersenyum.
Tidak seperti sidang lain yang saya hadiri, kali itu saya membawa sebuah bingkisan. Isi bingkisan itu sebuah buku yang punya cerita soal pemimpin-pemimpin di dunia. Pikir saya, buku itu paling cocok buatnya. Dan lagi, saya yang tidak jago pekerjaan halus, berusaha keras membungkus kado buat dia dengan tangan saya sendiri.
Saat dia keluar dari ruang sidang, kami banyak berfoto bersama. Saya juga menunggui dia sampai benar-benar keluar dari gedung dengan membawa bingkisannya yang segitu banyak.
Lain lagi dengan kehadiran saya pada sidang seorang teman, yang sepanjang kami saling mengenal, saya juluki dia si oportunis. Dia sangat tahu, jika si oportunis jadi simpulan saya soal pribadinya.
Kami tidak foto bersama lepas dia keluar dari ruang sidang. Saya juga gagal mencari kado yang tepat buat dia hingga memutuskan datang dengan tangan kosong.
Namun, dia menghampiri saya yang berdiri dekat pintu gedung tempatnya sidang saat banyak orang riuh mengajaknya berfoto. Dia berdiri sangat dekat dengan saya dan berkata,”Kamu sehat-sehat… jangan sakit lagi.” Sebentar kemudian, dia pergi menuju kerumunan yang riuh mengajaknya berfoto.
Memang, si oportunis ini, menurut mama saya, menunjukkan mata paling pias saat saya sakit. Padahal, saya selalu mengeluarkan kata-kata yang menohok dirinya, seperti soal cara hidupnya yang oportunis dan banyak hal lain.
Saya juga menangkap matanya yang tersenyum saat kami lama tidak bertemu. Dengan matanya yang tersenyum dan ejekan soal saya yang makin gendut, dia justru merentangkan tangan buat memeluk saya.
Sidang skripsi terakhir yang saya hadiri, saat sidang teman sekolah saya. Dia termasuk siswi yang menonjol di bidang akademis saat sekolah. Kamu pasti nyambung mengobrol apa saja dengan dia. Ada banyak infromasi dalam kepalanya.
Namun, hingga kuliah, teman saya yang satu ini tidak bisa menghilangkan rasa mindernya. Di masa sekolah, dia bahkan mendapat bullying dari sebagian teman yang barangkali otaknya kelas melati.
Untuk teman saya yang pendengar setia ini, saya menemukan buku yang kebetulan sesuai dengan bidangnya dan menyoal juga kepercayaan diri. Saya menunggu dia di depan ruang sidang dan dia mendadak menangis lepas dari ruang sidang, menangis yang bahagia.
Selebihnya, saya melewatkan banyak ajakan menghadiri sidang…
Bab Kematian
Saya hadir pada tiap kematian yang saya dengar. Tidak ada sekat untuk hati saya memilah, mana kematian yang bakal saya hadiri atau tidak, layaknya saya meghadiri pernikahan atau sidang skripsi. Kematian adalah satu napas yang sama...

Sunday, August 21, 2016

Tipu-Tipu dalam Hiding My Heart


Dibahas juga dalam, bedah novel Hiding My Heart bersama Fahrul Khakim. 21 Agustus 2015, di Kafe Pustaka UM.

Sumber: Goodreads

Mohon Maaf
Dalam pembahasan ini, saya bakal menggunakan subjek ‘saya’ berkali-kali. Mohon maaf saya hatur sebanyak-banyaknya. Penggunaan subjek saya’ bukan mengartikan bahwa saya membahas sebuah karya secara subjektif. Pun pembahasan yang tanpa menggunakan subjek ‘saya’, belum tentu juga bakal objektif ketika membahas sebuah karya. Dan lagi, saya di sini memposisikan diri sebagai penikmat karya bukan pemateri apalagi pembedah. Ngunu loh… wis yo… tiada ganjelan antara kita… *kibas bulu kelinci*
Aroma FLP yang Semerbak?
Ouch! Saya terkejut juga sih, waktu baca Hiding My Heart dimulai pada lembar ke 31. Kali pertama dalam hidup, saya melihat buku jenis ini memergunakan kata ‘alhamdulillah’ dalam percakapan tokohnya sehingga menunjukkan satu agama tertentu. Dilanjutkan pada halaman-halaman berikutnya di mana ‘assalamualaikum’ dipergunakan sebagai pengganti salam dalam pertemuan antar tokoh.
Beberapa contoh;
“Alhamdulillah, Tante sehat… dst.
“Assalamu’alaikum,” Galih mengucap salam.
Sensasi penggunaan ‘alhamdulillah’ dan lainnya dalam novel ini, berasa anu juga ketika mesti berpadu dengan celetukan-celetukan keminggris seperti; anyway, take care dkk.
Apakah penggunaan ‘alhamdulillah’ dkk merupakan bawaan penulis yang merupakan anggota FLP? Bisa jadi sih… mengingat bahwa FLP memang menekankan isi tulisan yang memiliki nilai moral khususnya berbau islam. Terlepas iya ataupun tidak, hal ini merupakan usaha yang ketche sekali dengan memadukan celetukan keminggris ala novel sejenis dan penggunaan ‘assalamu’alaikum’. Ini bukan menyoal agama tertentu, tapi juga nilai kesopanan dan wujud syukur sehari-hari pada Tuhan lewat jalan mengucap kata atau istilah yang juga berarti doa pada Tuhan seperti ‘assalamu’alaikum’. Pembaca tidak bakal merasa ‘diajari’ atau ‘digurui’ perkara nilai moral oleh penulis dengan caranya ini. Sitik-sitik sing penting kelakon, kan?
Ngalam Bau London
‘Setetes Embun dari London’ jadi caption yang menyertai judul novel ini. Begitu bukunya dibuka… Dor! Gambar Big Band disertakan dalam tiap pergantian bab. Padahal… isinya ndak mengandung London sama sekali loh! Sial! Penipuan! Penulis durjana! *eh*
Oke. Mengecewakan banget ketika London ternyata hanya disinggung saat Abe datang. Abe menceritakan soal sekolahnya di London, pekerjaan ayahnya dan sebab kepulangannya ke Indonesia. Sudah gitu aja. Maksa banget! Dan juga kelewat berlebihan kalau gambar Big Band di sertakan dalam tiap pergantian bab sampai dipakai jadi caption di bawah judul utama pula. Abe dalam sinopsis novel pun, hanya berada di London selama lima tahun, meski dalam novelnya selama empat tahun sih… jadi? Lebih banyak masa-masa di Indonesia, kan?
Abe digambarkan datang menggunakan kaos bertulis London. Yuhuu… apa itu menunjukkan bahwa dia datang dari London? Apa itu menunjukkan bahwa jaket itu dia beli di London? Nyablon kaos saiki gampang, Kakak. Anak Gondalegi atau Wagir juga bisa sablon baju sendiri yang bertulis ‘Lodon’. Belum lagi serbuan barang made in China yang murah meriah, baju bertulis London juga bisa didapat dari sana, kan? Londonisasi yang maksa sekali.
Selain soal jaket, Londonisasi maksa juga bisa dilihat dalam paragraf berikut;
Lara terus menatap Abe yang mengenakan kaos putih bergambar menara Big ben, ciri khas London… dst.
London oh London… kamu cuma ditempel dengan guntingan yang ndak rapi, dan nempelnya pun pakai lem nasi, plisss… tolong kamu jangan somasi…
Tipu-Tipu
Banyak joke yang berasa garing sekali, seperti; Mata Lara mendelik kaya disengat tawon (Saya ndak bisa bayangkan soal itu), cewek di depannya langsung melancarkan lototan maut ala trio macan kesambet nenek sihir (Ugh! Lagi-lagi saya ndak bisa bayangkan soal itu). Joke model ini bolak balik diulang sepanjangan novel, dengan kalimat berbeda tapi tetap menggunakan kata ‘ala’ dan ‘kayak’. Oke ini judulnya joke. Tapi, sungguh saya ndak bisa ketawa. Saya cuma paham bahwa ini maksudnya adalah joke yang maunya sih dibikin lucu.
Sejarah si Jono (Nama rumah pohon Lara dan Abe) nih, yang menarik. Diceritakan dalam bentuk dialog bukan narasi. Sehingga pembaca merasa ikut larut dalam percakapan aktif para tokoh. Untuk asal usul nama Jono, baru ini nih, yang dinamakan lucu. Saya benar-benar tidak menduga bahwa asal usul nama Jono ternyata remeh tapi cerdas. Tapi, beneran justru hal sepeti ini yang bisa disebut lucu, segar dan original dari buku ini.
Soal Abe yang ternyata seorang berondong juga ndak bisa diterka. Semuanya terungkap di halaman ke (angka disamarkan). Berlanjut dengan kematangan Abe yang ternyata melebihi anak seusianya. Bahkan Abe lebih rapi ketimbang Lara. Hal ini masuk akal. Mungkin saja Abe bertipe melankolis-perfeksionis, bukan?
Lara memang sih, secara fisik digambarkan super imut. Tapi, ternyata dia juga ndak sempurna. Dia ndak tegas atas perasaannya hingga menyakiti Rayen. Soal perasaan yang terjalin pada ujungnya antara Rayen dengan Donna, Lara seperti terkena timbal balik. Lara bukan digambarkan sebagai nona baik hati yang teraniaya penuh. Dunia ini ndak hitam putih, Bung… barangkali itu yang mau digambarkan dalam novel ini dengan konflik sehari-hari.
Menyesalnya, saya ndak menemukan sebab papa Lara lebih memilih Galih ketimbang Abe. Faktor usia kah? Kematangan dan kemapanan kah? Hanya ketidaksukaan dan ketidaksukaan yang terus menguar.
Musibah yang menimpa tokoh dalam novel ini juga dibikin sekaligus sebagai informasi pada pembaca. Seperti, deteksi SADARI untuk kanker payudara. Wah, novel ini mestinya jadi dutanya BKKBN. Banyak orang ogah mencari informasi soal penyakit. Ngeri. Pergi ke dokter juga kalau beneran sakit. Muuahal. Melalui novel ini, informasi penting masuk dengan manis.
 Soal ending barangkali bakal dibilang klise dan khas teenlit/metropop bagi kebanyakan orang. Namun, menurut saya, penulis dalem banget loh… dalam merangkai endingnya. Sosok Galih yang cemburu berat sama Abe ndak diperlihatkan rasa cemburu dan sakitnya saja. Galih di akhir, malah mampu menunjukkan rasa sayang pada Abe. Abe kehilangan Lara, namun penulis dengan mengejutkan bisa membuat Abe tidak terluka. Lara pergi tanpa kehilangan Abe juga dengan cara yang mengejutkan. Galih meski tidak mendapatkan Lara bahkan juga tidak kehilangannya, malah menemukan persahabatannya dengan Abe, bahkan memahami perasaan diantara Abe dan Lara dengan sepenuh hati. Abe dan Lara dibiarkan saling memiliki dengan cara tidak biasa; bukan menikah atau pacaran.
Wis yo, kertase ora cukup.
Selamat tertipu ketika membaca novel ini. Tipuan-tipuan lain, silahkan kuak sendiri. Beli sana. Saya beli juga mahal. Enak di anda kalau bocorannya semua dari saya *lambaikan tangan*
Satu lagi, saya menyimpulkan satu hal dalam novel ini, bahwa sesungguhnya berani berondong itu baik.
Sekian,
Peluk hangat.


Pura-Pura Poligami dalam Istriku Seribu, Emha Ainun Najib

Juara 3 Kategori Pustaka, Sayembara Menulis HUT ke-39 Majalah Komunikasi Universitas Negeri Malang (UM). Dapat pula dibaca di Majalah Komunikasi edisi 309.
Sumber: Halaman Majalah Komunikasi UM

Rahman dulu, baru rahim. Beres cinta sosial dulu, barulah ketentraman cinta pribadi.
Istriku Seribu, Emha Ainun Nadjib
Jika sampeyan barangkali membaca karya-karya cak Nun di era sembilan puluhan. Sampeyan bisa jadi menangkap kegalakan-kegalakan yang ada dalam tulisan-tulisan cak Nun pada masa itu.
Dalam Markesot Bertutur misalnya. Buku yang terbit kali pertama di tahun 1993 dan 1994 tersebut, berkali-kali menyindir salah seorang pejabat negara di era pemerintahan Orde Baru yang khas dengan ucapan,”Menurut pentunjuk Bapak…” ketika memberikan statement di depan publik, mewakili kebijakan-kebijakan bapak presiden pada waktu itu.
Markesot sendiri merupakan kumpulan esai bikinan cak Nun yang awalnya diterbitkan rutin di salah satu surat kabar lokal di Surabaya. Pada saat itu, sampeyan bisa sungguh merasakan pribadi cak Nun yang kereng[1], lurus, lagi tukang nyelentik[2].
Beda Markesot, beda pula dengan Istriku Seribu. Buku yang terbit di tahun 2015 tersebut agaknya tampil cukup nggegirisi[3] dengan membawa isu poligami. Setidaknya, isu tersebut seolah diwakili sampul buku warna biru bergambar jari manis yang dililit ulat. Jari manis sesungguhnya identik dengan jari yang biasa dipasangi cincin kawin toh?
Terdiri dari dua puluh bagian cerita. Sampeyan bakal dibikin tertipu matang-matang ketika memasuki cerita bagian pertama, Tiga Negeri Poligami. Tulisan tersebut masih membawa kita pada percakapan si ‘aku’ bersama Yai Sudrun. Percakapan tersebut seputar poligami yang memang poligami.
Namun setelahnya, sampeyan bukannya disuguhi apa itu poligami dan salah benarnya soal poligami. Sampeyan malah akan disuguhi betapa perdebatan penduduk di negeri si ‘aku’, menyoal poligami, begitu pelik dan tidak pernah cukup mendalam hingga tidak juga berujung.
Pada cerita-cerita berikutnya, sampeyan justru akan makin disuguhi kelembutan-kelembutan yang mestinya memang gambaran proses diri dari si tokoh ‘aku’. Tulisan cak Nun pada tulisan-tulisan berikutnya bukan lagi seperti tulisan-tulisannya di awal sembilan puluhan. Justru sampeyan akan menemukan ramuan tulisan yang penuh cinta, lurus akan tetapi tetap nyelentik.
Pada bagian cerita Manajemen Kentrung misalnya. Makin jelas jika yang dimaksud istri dalam Istriku Seribu, bukanlah perempuan bermata, berhidung, yang memiliki rahim, yang lantas bisa sampeyan poligami atau suruh macak[4] sekalian manak[5]. Istri yang dimaksud dalam buku tersebut, justru malah merupakan gambaran jamaah yang mesti diramut[6].
Dalam Manajemen Kentrung, juga digambarkan betapa tidak mudah menjadi ‘aktor’ intelektual atas sebuah ide besar, tanpa perasaan ingin menampakkan diri di depan publik. Semua orang memiliki rasa ingin tampil. Bukan begitu toh?
Selebihnya, sampeyan bisa jadi menuduh bahwa Istriku Seribu sesungguhnya merupakan surat cinta terselubung buat keluarga dan jamaah. Sampeyan bisa jadi juga menyimpulkan bahwa buku bersampul biru tersebut begitu melow[7]nya.
Bahkan dalam Istri Kepala Rumah Tangga, sampeyan bisa rasakan bahwa sesungguhnya Novia Kolopaking jadi sentral ucapan cinta si ‘aku’. Peran-peran Novia seperti dibedah dalam cerita tersebut. Bahwa Novia pada nyatanya juga ikut ngopeni[8] jamaah meski tidak banyak tampil di depan panggung. Sampeyan bisa jadi bakal mberebes mili [9]ketika membaca bagian yang satu ini.
Istriku Seribu pada dasarnya membawa kita pada hubungan antar sesama yang barangkali nampaknya remeh temeh. Betul… hubungan antar sesama manusia yang barangkali dianggap tidak se-njelimet[10] perdebatan sampeyan soal mana syariat dan yang mana makrifat.

Judul              : Istriku Seribu
Penulis             : Emha Ainun Najib
ISBN               : 978-602-291-117-3
Terbit               : Agustus 2015
Ukuran             : 18 cm
Halaman          : 98
Penerbit           : Bentang Pustaka





[1] Galak
[2] Tukang sentil
[3] Bikin merinding disko
[4] Berdandan
[5] Melahirkan
[6] Dirawat
[7] Selembut-lembutnya
[8] Mengurusi
[9] Menitikkan air mata
[10] Rumit

Tuesday, August 16, 2016

Pemberian yang Anomali


Namun, aku hanya secarik kertas. Berwarna pekat, hingga sulit kau bubuhi.
Cerita Kertas dan Pena, Sarasvati feat Ink Rosmary

AWAL
Tuhan yang baik, barangkali memberimu IQ tinggi yang tiba-tiba ada. Tuhan yang baik, barangkali memberimu kecerdasan sosial yang tiba-tiba ada. Tuhan yang baik, barangkali memberi kamu hidung lancip dan pipi tirus. Namun, Tuhan yang baik justru memberi saya keanehan… a-n-o-m-a-l-i.
Bagaimana rasa hatimu saat kamu tiba-tiba tahu apa yang tidak ingin kamu tahu? Rumit…
Saat saya kecil, saya bisa melihat siapa kamu. Tidak ada bisikan, tidak ada bayangan, tidak ada seseorang yang saya rasa memberi tahu.
Saya saat balita. Sumber: Dokumentasi pribadi
Seberapa kamu tendensius, seberapa kamu tulus. Semua seperti berbatasan satu selembar plastik tipis bagi saya. Itu jadi sebab saya tidak pernah punya banyak teman saat kecil. Saya juga kesulitan mengungkap apa yang saya rasa dan ingin. Saya… senyap.
Saya lebih senang mendengar orang dewasa mengobrolkan masalah mereka, ketimbang mendengarkan berapa kali kamu pergi ke pasar malam.
Dengan ekstrim, saya menjauhi orang-orang yang mendadak saya ketahui seberapa jauh kadar tendensinya. Saya akhirnya pergi dari sangat banyak lingkaran pergaulan. Saya… hilang.
Ini sama seperti ketika kamu berhadapan dengan seseorang yang jelas membawa pisau dan kamu hendak ditikam. Kamu pasti berlari, menghindar atau berteriak meminta bantuan orang lain. Bukankah itu instingmu buat tetap hidup?
Saya sudah berlari dan mengindar, sendirian. Namun, satu yang belum pernah saya lakukan saat itu, meminta bantuan orang lain, karena untuk itu saya sudah terlalu sedih.

“Biasanya, anak-anak dengan masalalu menyedihkan dan perasaan sendirian akan lebih peka…”

Roslina Verauli

Siapa yang membenci tendensius? Siapa yang mencintai tulus? Bagaimana caramu pegang kendali saat semua betul-betul jernih dan saking dekatnya?
HINGGA 1
Saat remaja, saya mulai belajar berucap. Itu sekadar pertahanan diri otomatis setelah menahun mengalami hal buruk.
Saya mulai berusaha mengungkap apa yang saya mau, siapa yang saya benci, siapa yang saya cintai. Kamu mesti tahu itu, mereka pun begitu. Saya juga punya ingin. Dan ingin saya,kepala saya tidak lagi terlindas karena kamu pikir saya yang senyap.
HINGGA 2
Saya terlalu lama menjauh dari banyak lingkaran. Terlalu sering juga saya merasa dibenci.
Saya saat usia 7 tahun. Sumber: Dokumentasi pribadi
Kemudian, saya mulai terobsesi disukai banyak orang. Saya berusaha jadi menyenangkan buat semuanya. Betul saya yakin jika semua orang bisa saya sentuh hatinya.
Saya tidak jujur, meski saya kemudian bisa masuk dalam banyak lingkaran dan memiliki kamu sebagai teman.
Dengan itu semua, saya mencintai apa yang saya benci.
HINGGA 3
Kemudian, saya menemukan cara lain buat mencintai apa yang saya benci. Dengan bibir saya yang tersenyum namun mata yang tidak pernah tersenyum.
Dengan itu, saya makin terlihat baik. Saya makin bisa masuk dalam banyak lingkaran dan memiliki mereka sebagai teman.
Saya tetap tidak jujur dan itu menyakiti diri saya.
SAAT INI
Saya sedang berusaha mencintaimu dengan mencintaimu, dan membenci dengan mencintaimu…

“Insting, merupakan sesuatu yang datang langsung dari Tuhan tanpa perantara pengalaman.”
Jeihan Sukmantoro


Sunday, August 14, 2016

Cerita Kertas dan Pena




Kamu adalah sebatang ranting
Kuat namun kamu rapuh terbawa angin
Lalu ada kamu sebuah jala
Coba menangkapku ke dalam pusarannya

Aku hanyalah sebuah pena
Coba menuliskan cerita kau dan aku
Namun aku hanya secarik kertas
Berwarna pekat hingga sulit kau bubuhi

Menghilang kau lekas,waktu tak berpihak
Padaku yang lengah,kehilangan arah
Terdiam kau hening,lelah ku teriak
Lalu aku bimbang,lantas aku hilang

Kita adalah sungai yang tenang
Mengalir jauh kesana walau terhalang
Kita adalah segenggam pasir
Seolah mudah diraih namun terburai....


Sarasvati



Mata yang Tidak Pernah Tersenyum


Tiga jam bukan waktu yang cukup buat mengobrol dengan kamu. Puluhan paragraf percakapan, dalam sehari lewat sosial media antara kita juga mana pernah cukup. Setidaknya, bagi saya begitu…

Saya menyukai otakmu yang objektif dan hatimu yang penuh iri. Dengan itu, kamu eksotis lagi manis.


Dan lagi. Kamu punya bibir yang selalu membawa senyum. Sayang, matamu tidak pernah benar tersenyum...

(Sepuluh wajah)

Saturday, August 13, 2016

Puncak Kemarahan

Sumber: Dokumentasi pribadi

Ada puncak kemarahan yang namanya cinta. Jika marahmu namanya masih perang, marahmu belum pada puncaknya.

Letak Landasan Teori Kemanusiaan (Di-Mana-Kah?)

Stroke ayah saya kambuh beberapa bulan lalu. Kejadiannya di Toko Emas Raharjo, di daerah pasar besar.
Mama langsung kebingungan, refleks dia minta siapa saja memanggilkan taxi. Namun, muncul tiba-tiba seorang pria etnis cina yang ternyata pemilik toko emas yang saya sebut tadi.
Pria itu langsung mengeluarkan mobil pribadinya kemudian mengangkut ayah saya menuju Rumah Sakit. Bahkan, motor milik ayah dipersilahkannya untuk dititipkan dalam toko.
Pria itu juga memberi mama kartu namanya, menjanjikan bantuan bila saja mama perlu. Dia juga menyanggupi biaya pengobatan ayah, namun mama menolak karena kami sekelurga peserta BPJS.
Mama tidak pernah tahu nama dan agama pria itu…

“Kemanusiaan tidak memiliki landasan teori, bukan?”

Thursday, August 4, 2016

Tidur

Sejak kamu, saya jadi takut buat tidur. Kamu selalu menyekap saya dengan cara menyesakkan, dalam gelapnya kelopak mata yang terkatup.


Sejak kamu, saya jadi senang buat tidur. Saya bisa menikam kamu sepuasnya hati, dalam gelapnya kelopak mata yang terkatup.