Tuesday, July 18, 2017

Ini Dia, Si Oportunis Kesayangan Saya

Bagaimana rasanya bisa bersahabat dengan si oportunis? Rasanya unik. Seperti satu teman saya ini. Saya bukan pembencinya dia, tapi bukan juga pecintanya.

Dia abu-abu, saya tahu. Dan abu-abu adalah hal paling manusiawi yang saya tahu sepanjang hidup.

Kata ibu saya, wajahnya paling pias di antara semua teman, saat saya sakit. Tapi, sepanjang saya tahu dia tidak akan pernah menghabiskan tenaga dan waktunya untuk memerjuangkan saya. Seluruh pikirannya berfokus dengan, bagaimana dia bertahan hidup dengan modal sesedikit mungkin, juga seberapa berguna orang lain yang tengah ada di hadapannya, untuk mencapai tujuan.

Di sisi lain, teman saya ini betul-betul tidak berani melukai saya. Tidak pernah dan mungkin tidak akan pernah, jika merunut insting saya. Dia betul-betul hati-hati.

Jika dirunut, saya ini ternyata salah satu dari sangat sedikit teman yang bisa berkomentar jujur tentang dia. Lewat sosial media, saya pernah dikenalkan pada satu teman perempuannya yang lain, yang katanya mirip dengan saya dan tinggalnya di luar kota. Sama-sama tukang koreksinya yang ulung.

Teman saya ini unik, saya sering dengar kabar dia melukai orang lain. Namun dia sendiri sangat takut dilukai orang. Dia memelihara teman-teman yang bisa jujur soal dirinya baik-baik. Meski juga, karena oportunis, dia juga tidak mau kelewat rugi dengan susah-susah menghabiskan waktu memerjuangkan teman-temannya ini. Ya... tapi buat orang semacam teman saya ini, tidak melukai saja sudah luar biasa.

Barangkali, pikir teman-teman yang lain saya ini pendukung si teman ini. Padahal, saya selalu menyediakan koreksi banyak-banyak buatnya. Kalaupun kami nampak nempel, itu karena dia tabah dikoreksi. Karena dalam hal-hal yang banyak orang dia dibilang melukai, dia sebetulnya juga sadar tengah melukai.

Bahkan, satu waktu pernah teman saya mengucap terimakasih. Ucapan saya 3 tahun lalu betulan terjadi, katanya. Saya lupa ucap apa, tapi teman saya ini bilang katanya saya beri peringatan padanya soal wataknya yang melukai tadi. Dan betul, dia kemudian ganti dilukai. Dia cuma cerita tersirat, sih... saya juga nggak ingin tahu detail apa masalah dia. Yang jelas, dia malah traktir saya mie ayam sebagai ucapan terimakasih katanya.

Kadang saya berpikir, apa mungkin jadi tukang koreksi baginya sudah dianggap sebuah keuntungan, dari pertemanan kami?

Ah, tapi untuk melanjutkan pikiran saya yang kesitu itu, saya kemudian ingat bagaimana ibu saya yang melihat ekspresi spontan teman saya ini waktu saya sakit.

Bagaimanapun, dia punya watak oportunis. Sadar jika dirinya melukai saja, sudah sangat luar biasa. Dan kesimpulannya, orang oportunis tidak akan punya waktu berjuang buat orang lain, sekalipun kamu betulan dianggap temannya. Cara mereka berteman memang unik, yaitu dengan berusaha tidak melukaimu, meski juga tidak akan memerjuangkan kamu.

Tapi kembali soal wajahnya yang pias saat saya sakit, kadang saya berpikir, jangan-jangan dia hanya cemas satu tukang kritiknya yang menguntungkan hilang.

Duh, oportunis...

No comments: